Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah.
Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah.
Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah.
Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah.
Hidup adalah cinta, maka nikmatilah..
MUHAMMAD MUZAYYIN RUKHAN lahir di Kediri 2 April l950 kakek dari empat cucu, fasa, sifa, hanum dan nisa’. pensiunan pelatih motivator program keluarga berenca nasional sekarang aktif dalam kegiatan pelayanan umat, seorang khatib masjid jamik Mambaul Ulum, menyisakan umurnya untuk menuntun umat meniti dan kembali kejalan Allah
Cari Blog Ini
Senin, 14 November 2011
Minggu, 13 November 2011
Apa sebab Islam lebih unggul dari Agama lain
Apa sebabnya Agama Islam lebih unggul dari Agama lain? Mungkin banyak orang diluar umat Islam yang merasa pernyataan itu adalah tidak benar karena semua pasti menyatakan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Dan ada juga yang berpendapat bahwa semua agama sama saja karena semua agama mengajarkan untuk berbuat kebaikan jadi tidak ada Agama yang lebih unggul daridari Agama yang lain. Perbedaan pendapat tersebut harus kita hormati dan Agama Islam menghormati perbedaan pendapat yang ada diantara pemeluk agama yang ada dimuka bumi ini.Jadi terserah kepada manusia itu sendiri untuk menilainya dan agama apa yang di percayanya. Karena ajaran Islam tidak membenarkan pemaksaan terhadap suatu agama sebagaimana di katakan dalam Surat Al-Baqarah [2:256] " Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah." Dan kemudian dilanjutkan lagi dengan bunyi ayat " Dialah yang menciptakanmu, maka diantaramu ada yang menjadi kafir, dan ada pula yang menjadi mukmin." [At-Taghabun : 2].
Jadi Allah memberi kebebasan untuk memilih agama mana yang dipilih, terserah saja hanya menurut Allah Agama Islam adalah agama yang paling benar sebagaimana bunyi ayat " Dialah yang mengutus Rasul-Nya membawa pimpinan Tuhan dan agama Islam yang hak, agar Islam itu nyata keunggulannya melebihi semua agama. Dan cukuplah Allah menjadi saksi."[Al-Fath:28]. "Dialah yang mengutus Rasul-Nya serta diperlengkapi dengan petunjuk [Al-Qur'an] dan agama yang benar, agar dimenangkan-Nya dari semua agama yang menentangnya, walaupun orang-orang kafir musyrik membencinya." [As-Shaf :9]. Keunggulan dan kebenaran agama Islam dibuktikan dengan adanya petunjuk dengan Kitab Sucinya Al-Qur'an yang diturunkan Allah melalui Rasullullah Nabi Muhammad SAW.
Apa pembuktian kebenaran Al-Qur'an itu semuanya dapat dijawab secara jelas dan bisa di pertanggung jawabkan secara logika akal sehat maupun diuji secara ilmiah apa-apa yang diterangkan dalam Al-Qur'an tentang kejadian alam dunia,proses penciptaan manusia, makanan yang halal & haram,hukum waris,perkawinan,hubungan antara manusia,ekonomi,sosial,pemerintahan kemajuan teknologi dan sebagainya. Dan Allah mengatakan dalam Surat Ali'Imran [3:3-4] " Dia menurunkan Kitab Al-Qur'an kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Dia pula yang menurunkan kitab Taurat dan Injil sebelumnya, sebagai petunjuk untuk semua manusia, Dan Dia pulalah yang menurunkan Al-Furqan "[akal yang dapat membedakan yang benar dan salah].
Seperti contoh di dalam menyembah Tuhan selain dari Allah, kita disuruh berfikir menggunakan akal sehat sebagaimana dalam Surat Al-A'raaf [6:197-198] " Mereka yang kalian puja-puja disamping Allah itu, tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Dan jika kamu minta kepada berhala-berhala itu untuk memberi petunjuk kepada kalian, mereka tidak akan dapat mendengar permintaan kalian. Engkau lihat berhala-berhala itu seolah-olah memandangmu, namun sebenarnya mereka tidak melihat." Selain dari itu banyak yang lain seperti kisah Fir'aun Allah mengatakan "Pada hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dimana mereka tidak mempercayai kemusnahanmu."[Yunus:92]. Dan 1.400 tahun yang lalu Al-Qur'an telah menjelaskannya dan kemudian akhirnya terbukti,menurut sejarah setelah Fir'aun tenggelam, maka tubuhnya terdampar di pantai dan ditemukan orang Mesir kemudian dibalsem sehingga utuh sampai sekarang.Setelah diteliti mayatnya oleh para ahli ternyata benar Fir'aun tenggelam dilaut karena masih ada sisa-sisa garam yang menempel di tubuhnya.Selain itu anehnya termasuk organ tubuh bagian dalam masih dalam keadaan baik, sehingga para peniliti Barat kagum atas penjelasan dalam Al-Qur'an yang sangat terperinci dan jelas dan keterangan itu tidak terdapat pada kitab suci lainnya.
Kemudian dalam ayat lain tentang ruang angkasa yang ada di langit juga dijelaskan oleh Allah semula banyak para ahli sebelumnya menganggap bumi ini adalah datar, padahal Allah telah mengisyaratkan sebelumnya dalam Al-Qur'an adalah bentuknya bulat ternyata akhirnya terbukti benar berdasarkan ilmu pengetahuan. Disamping itu dalam ayat lain " Dialah yang menjadikan matahari bersinar cemerlang dan bulan bercahaya terang dan diterapkan-Nya garis edarnya, supaya dapat kamu ketahui bilangan tahun dan perhitungan waktu."[Yunus:5]. Banyak lagi keterangan masalah alam semesta ini seperti ada tujuh lapis langit dan sebagainya akhirnya para peniliti mengakui atas petunjuk-petunjuk yang terdapat didalam Al-Qur'an bukanlah buatan manusia biasa apalagi pada saat Al-Qur'an diturunkan 1.400 tahun yang lalu belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa menerangkan hal tersebut.
Disamping itu semua satu demi satu mulai terungkap tentang apa-apa petunjuk yang diterangkan dalam Al-Qur'an yang sebelumnya banyak yang tidak masuk akal sekarang akhirnya mulai terbukti. Seperti ditemukannya ada danau dan sungai air tawar di bawah permukaan laut tidak bercampur atau satu sama lain seperti ada garis pemisah. Padahal dalam Al-Qur'an Allah telah menetapkan dalam Surat Ar-Rahman [55:19-20] " Dialirkan dua lautan dan bertemu antara keduanya ada garis pemisah, masing-masing tidak melanggarnya." Jelas kalau sebelumnya keanehan itu mungkin belum ditemukan, pasti orang beranggapan ayat tersebut adalah bohong atau hayalan belaka, namun dengan ditemukannya di laut Mexiko, di Laut Mati, dan Kepulauan Natuna Kalimantan akhirnya terbuktilah bahwa apa yang diterangkan di Al-Qur'an adalah benar. Dan itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa Agama Islam dengan Kitab Sucinya Al-Qur'an nyata keunggulannya melebihi semua agama. Demikianlah mudah-mdahan ada manfaatnya kepada kita semua.
Jadi Allah memberi kebebasan untuk memilih agama mana yang dipilih, terserah saja hanya menurut Allah Agama Islam adalah agama yang paling benar sebagaimana bunyi ayat " Dialah yang mengutus Rasul-Nya membawa pimpinan Tuhan dan agama Islam yang hak, agar Islam itu nyata keunggulannya melebihi semua agama. Dan cukuplah Allah menjadi saksi."[Al-Fath:28]. "Dialah yang mengutus Rasul-Nya serta diperlengkapi dengan petunjuk [Al-Qur'an] dan agama yang benar, agar dimenangkan-Nya dari semua agama yang menentangnya, walaupun orang-orang kafir musyrik membencinya." [As-Shaf :9]. Keunggulan dan kebenaran agama Islam dibuktikan dengan adanya petunjuk dengan Kitab Sucinya Al-Qur'an yang diturunkan Allah melalui Rasullullah Nabi Muhammad SAW.
Apa pembuktian kebenaran Al-Qur'an itu semuanya dapat dijawab secara jelas dan bisa di pertanggung jawabkan secara logika akal sehat maupun diuji secara ilmiah apa-apa yang diterangkan dalam Al-Qur'an tentang kejadian alam dunia,proses penciptaan manusia, makanan yang halal & haram,hukum waris,perkawinan,hubungan antara manusia,ekonomi,sosial,pemerintahan kemajuan teknologi dan sebagainya. Dan Allah mengatakan dalam Surat Ali'Imran [3:3-4] " Dia menurunkan Kitab Al-Qur'an kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Dia pula yang menurunkan kitab Taurat dan Injil sebelumnya, sebagai petunjuk untuk semua manusia, Dan Dia pulalah yang menurunkan Al-Furqan "[akal yang dapat membedakan yang benar dan salah].
Seperti contoh di dalam menyembah Tuhan selain dari Allah, kita disuruh berfikir menggunakan akal sehat sebagaimana dalam Surat Al-A'raaf [6:197-198] " Mereka yang kalian puja-puja disamping Allah itu, tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Dan jika kamu minta kepada berhala-berhala itu untuk memberi petunjuk kepada kalian, mereka tidak akan dapat mendengar permintaan kalian. Engkau lihat berhala-berhala itu seolah-olah memandangmu, namun sebenarnya mereka tidak melihat." Selain dari itu banyak yang lain seperti kisah Fir'aun Allah mengatakan "Pada hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dimana mereka tidak mempercayai kemusnahanmu."[Yunus:92]. Dan 1.400 tahun yang lalu Al-Qur'an telah menjelaskannya dan kemudian akhirnya terbukti,menurut sejarah setelah Fir'aun tenggelam, maka tubuhnya terdampar di pantai dan ditemukan orang Mesir kemudian dibalsem sehingga utuh sampai sekarang.Setelah diteliti mayatnya oleh para ahli ternyata benar Fir'aun tenggelam dilaut karena masih ada sisa-sisa garam yang menempel di tubuhnya.Selain itu anehnya termasuk organ tubuh bagian dalam masih dalam keadaan baik, sehingga para peniliti Barat kagum atas penjelasan dalam Al-Qur'an yang sangat terperinci dan jelas dan keterangan itu tidak terdapat pada kitab suci lainnya.
Kemudian dalam ayat lain tentang ruang angkasa yang ada di langit juga dijelaskan oleh Allah semula banyak para ahli sebelumnya menganggap bumi ini adalah datar, padahal Allah telah mengisyaratkan sebelumnya dalam Al-Qur'an adalah bentuknya bulat ternyata akhirnya terbukti benar berdasarkan ilmu pengetahuan. Disamping itu dalam ayat lain " Dialah yang menjadikan matahari bersinar cemerlang dan bulan bercahaya terang dan diterapkan-Nya garis edarnya, supaya dapat kamu ketahui bilangan tahun dan perhitungan waktu."[Yunus:5]. Banyak lagi keterangan masalah alam semesta ini seperti ada tujuh lapis langit dan sebagainya akhirnya para peniliti mengakui atas petunjuk-petunjuk yang terdapat didalam Al-Qur'an bukanlah buatan manusia biasa apalagi pada saat Al-Qur'an diturunkan 1.400 tahun yang lalu belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa menerangkan hal tersebut.
Disamping itu semua satu demi satu mulai terungkap tentang apa-apa petunjuk yang diterangkan dalam Al-Qur'an yang sebelumnya banyak yang tidak masuk akal sekarang akhirnya mulai terbukti. Seperti ditemukannya ada danau dan sungai air tawar di bawah permukaan laut tidak bercampur atau satu sama lain seperti ada garis pemisah. Padahal dalam Al-Qur'an Allah telah menetapkan dalam Surat Ar-Rahman [55:19-20] " Dialirkan dua lautan dan bertemu antara keduanya ada garis pemisah, masing-masing tidak melanggarnya." Jelas kalau sebelumnya keanehan itu mungkin belum ditemukan, pasti orang beranggapan ayat tersebut adalah bohong atau hayalan belaka, namun dengan ditemukannya di laut Mexiko, di Laut Mati, dan Kepulauan Natuna Kalimantan akhirnya terbuktilah bahwa apa yang diterangkan di Al-Qur'an adalah benar. Dan itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa Agama Islam dengan Kitab Sucinya Al-Qur'an nyata keunggulannya melebihi semua agama. Demikianlah mudah-mdahan ada manfaatnya kepada kita semua.
Selasa, 25 Oktober 2011
Ma'rifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”
Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.
Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “
Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.
Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.
Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”
Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.
Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “
Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.
Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.
Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
TASAUF ISLAM SOLUSI KEKERINGAN SPIRITUAL DI ERA MODERNISASI DAN GLOBALISASI
Oleh : Abdul Karim Lubis, SPdI
A. Pendahuluan
Tasauf Islam merupakan bagian integral dari ajaran spiritual Islam yang bersumber dari al-qur’an dan al-Sunnah, lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasauf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah. Sebelum abad kedua dan ketiga istilah tasauf belum dikenal dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasauf belum ada pada permulaan Islam, ia sudah ada tapi tidak secara eksplisit sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu. Bahkan bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak hanya tasauf yang tidak dikenal pada periode awal Islam, disiplin ilmu yang lainpun seperti fiqig, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa Rasulullah.
Melalui tulisan yang singkat ini penulis ingin menekankan kepada Kaum muslimin dan muslimat bahwa ajaran tasauf bukanlah suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam dengan catatan selama ia merujuk kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, menjelaskan ada tig macam ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu ilmu fiqih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf/ilmu srri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran tasauf bukanlah milik kelompok tertentu saja, tapi ia harus dimiliki oleh setiap orang terlebih lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini minimal ajaran tasauf yang bersifat sederhana seperti sabar, syukur, tawakkal dan sebagainya. Karena tasauf mengajarkan nilai-nilai spiritual yang membawa kepada kesejukan, ketentraman dan kedamaian bagi jiwa manusia.
Tasauf merupakan ajaran keruhaniaan yang menekankan kepada kesuciaan jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhally, tahally dan tajally melalui riyadhah yang dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi dan amal-amal shaleh lainnya menuju insan kamil (manusia paripurna).
B. Pengertian Tasauf
Pengertian tasauf baik secara etimologi maupun terminolgi, para ahli (ulama tasauf) ternyata berbeda pendapat. Untuk tujuan kejelasan arti kata tasauf diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran itu, diharapkan memberikan gambaran yang jelas akan makna kata tasauf yang sesungguhnya. Secara etimologi (bahasa) pengertian tasauf dapat dilihat menjadi beberapa pengertian, seperti dibawah ini:
1. Tasauf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekolompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi masjid nabawi, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
2. Tasauf berasal dari kata shaf (baris); yang dimaksud dengan shaf disini adalah baris pertama shalat di mesjid. Shaf pertama selalu ditempati para Sufi dalam shalat berjamaah.
3. Tasauf dikatakan berasal dari kata “shafa”, yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang Sufi setelah mengadakan “penyucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani.
4. Tasauf berasal dari kata shaufana, yaitu sebangsa buaha-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, di mana pakaian kaum Sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
Pengertian tasauf secara terminologi (istilah) para ulama juga mendefenisikannya beragam. Menurut Syekh al- Islam Zakaria al-Ansari:
“Tasauf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai abadi . Unsur utama tasauf adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan abadi”.
Ketika Muhammad al-Jurayri ditanya tentang tasauf, beliau menjelaskan, “Tasauf berarti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela”.
Ma’ruf al-Karkhi, tasauf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa tasauf adalah suatu ajaran yang selalu berupaya membawa para orang-ornag yang menyelaminya berada dalam kesucian jasmani dan ruhani lahir dan batin, ta’at kepada Allah dan Rasulnya, selalu berusaha menghiasi diri dengan segala sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meningglakn segala sifat-sifat mazmumah (tercela) dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. melalui takhalli, tahalli dan tajally. Manusia pada fitrahnya memiliki dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan biak kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hanifiyah kareena manusia adalah makhluk yang hanif. Sebagai makhluk yang hanif manusia memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyah itu terdapat dalam dirinya yang paling dalam dan paling murni, yang disebut hati (qalbu).
Manusia memiliki potensi dasar untuk selalu ta’at kepada Allah, atau dengan kata lain manusia itu memiliki kecenderungan kepada kebenaran. Konsepsi Islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau cenderung kepada kebenaran secara eksplisit diungkapkan dalam al-qur’an “Dan ketika Tuhannmu mengeluarkan keturunan dasri putra-putra Adam, dari sulbi mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka snediri; ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, benar, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf: 7/12). Orang-orang yang ber-tasauf (Sufi) hatinya selalu mengeingat Allah dalam segala gerak langkah dan tindakannya, Allah selalu hadir dalam setiap denyut nadi dan detak jantungnya bahkan setiap tarikan nafasnya dalam rangka upaya penyucian jiwa dan mempersiapkan diri untuk mencapai kehidupan yang abadi.
C. Sejarah Singkat Tasauf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut.Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasauf mengalami perkembangan yang sangan pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasauf pada masa Raulullah saw. adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasauf dengan cara mendirikan madrasah tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasauf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasauf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Tasauf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual , tasauf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Smua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna (insan kamil). Nambi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
D. Sumber Ajaran Tasauf
Menurut para Sufi, bahwa sumber tasauf adalah dari agama Islam itu sendiri, tasauf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, qwal dan aktifitas sahabat, aktifitas dan qwal tabi’in. Diakui memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasauf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi ia lahir merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya. Namun penulis tetap berkeyakinan bahwa tasauf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabat beliau, kendatipun terdapat kesamaan antara ajaran tasauf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain itu hanya secara kebtulan saja. Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual, apakah lagi agama Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan di antaranya tetapi bukan berarti ajaran tasauf Islam merujuk kepada ajaran agama lain selain Islam. Semua agama sealalu berusaha membimbing dan meyadarkan manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi.Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqamah); kerendahan hati (tawadhu); berusaha dan berserah diri (tawakkal); ketulusan, totalitas (kaffah); keseimbangan (tawazun); integritas dan penyempurnaan (ihsan) itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Dasar ajaran tasauf dalam al-Qru’an antara lain:
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kea rah manapun kamu menghadap di situ akan kamu jumpai wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 2/115)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah); bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabil mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintha-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepas-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 2/186)
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf : 50/16)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 13/28)
Dasar ajaran tasauf dari hadits:
أن تعبد الله كأ نك تراه فإ ن لم تكن تراه فإ نه يراك (متفق عليه)
Artinya:
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya niscaya dirinya akan binasa.( al-Hadits)
“Dulu Aku (Allah) adalah sebuah permata tersembunyi, namun Allah ingin dikenal, maka allah menciptakan makhluk dan dengannya Akupun dikenal.” (al-Hadits)
Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka akan berpengaruh baik pula kepada tubuh secara keseluruhan, akan tetapi apabila ia rusak, maka rusak pula tubuh secara keseluruhan, daging itu adalah hati. (HR. Bukhari)
Hati adalah suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tasauf, dan inilah yang selaul menjadi objek kajian, tema sentral tasauf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima panjaran nur Ilahi melalui dzikrullah, dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor ia tidak akan dapat menerima pancara nur Allah swt. Namun apabila hati itu bersih ia bening lakasana kaca niscaya ia dapat menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahaya, disaat hati bersih bening laksana kaca terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncullah musahadah, mukasyafah, ma’rifat dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.
E. Tujuan Ajaran Tasauf
Tasauf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komonikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan Tuhan.Komonikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al-A’raf: 7/172). Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan kesibukan duniawi komonikasi itu terputus dan seyogianya manusia harus berupaya menjalin komonikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhani senantiasa rindu ingin kembali ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Bergitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah. Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasauf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsef al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya. Dikalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat, bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan (ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol-simbol.Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (Sufi). Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah.Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.
F. Signifikansi Tasauf di Era Modern
Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah (scientific method).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang laur biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern.Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat penegtahuan rasional. manusia seolah digiring untuk memikrkan dunia an-sich sehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.
Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagiamana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagsan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Nsr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi keceradsan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasauf, seperti ilmu, tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasauf karena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbagan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.
G. Manfaat Mempelajari Tasauf
Mempelajari tasauf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Bila semua orang bertasauf insyaallah bumi ini akan aman dari segala konflik dan permusuhan, karena ajaran tasauf selalu membawa peasan-pesan universal yang bernuansa kesejukan, kedamaian, ketentraman, cinta kasih dengan sesama, bahkan dengan alam, lingkungan dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran tasauf datang menmbus lintas suku, ras, etnis bahkan agama. Para Sufi seperti Ibn ‘Arabi umpamanya, sangat menghargai dan menghormati pluralisme agama. Dengan demikian konsep ajaran tasauf sangat toleran, terbuka dan dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan semua kalangan.
Orang-orang yang mengamalkan ajaran tasauf (para Sufi) hidupnya akan terasa lebih bermakna, indah, dan penuh kesederhanaan dalam menjalani kehidupan ini, segala sesuatunya dijalani dengan ikhlas, syukur, sabar, qana’ah, dan tawakkal atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dirinya, tidak mengeluh dan tidak putus asa, tetapi selalu oftimis dalam mengharungi hiudup ini dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah swt. Para Sufi selalu mampu menangkap pesan-pesan dan hikmah dibalik realitas yang terjadi di alam ini.
Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 89/27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
H. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi
Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun brmula dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa agama selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderen dari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres.
Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan dmensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.
Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di segala bidang kehidupan.Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.
PENUTUP
Tasauf Islam suatu ajaran kerahanian (spiritual) yang bersumber dari ruh syari’at Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Para Sufi dalam mengamalkan ajaran tasauf dengan selalu merujuk kepada akhlak, kepribadian dan ketauladanan Rasulullah swa. Sahabat Nabi yang mula-mula melembagakan ajaran tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani dengan mendirikan sebuah madrasah yang khusu mengajarkan ilmu tasauf, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Hasan Al-Basri dari kalangan tabi’in.
Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling bersinergi. Tasauf Isalam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.
Masalah keterasingan adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya keterasingan dan sekaligus sebagai korban yang harus menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang mahawujud dan mahaabsolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak berarti dihadapan eksistensi yang mahaabsolut.
A. Pendahuluan
Tasauf Islam merupakan bagian integral dari ajaran spiritual Islam yang bersumber dari al-qur’an dan al-Sunnah, lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasauf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah. Sebelum abad kedua dan ketiga istilah tasauf belum dikenal dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasauf belum ada pada permulaan Islam, ia sudah ada tapi tidak secara eksplisit sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu. Bahkan bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak hanya tasauf yang tidak dikenal pada periode awal Islam, disiplin ilmu yang lainpun seperti fiqig, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa Rasulullah.
Melalui tulisan yang singkat ini penulis ingin menekankan kepada Kaum muslimin dan muslimat bahwa ajaran tasauf bukanlah suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam dengan catatan selama ia merujuk kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, menjelaskan ada tig macam ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu ilmu fiqih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf/ilmu srri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran tasauf bukanlah milik kelompok tertentu saja, tapi ia harus dimiliki oleh setiap orang terlebih lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini minimal ajaran tasauf yang bersifat sederhana seperti sabar, syukur, tawakkal dan sebagainya. Karena tasauf mengajarkan nilai-nilai spiritual yang membawa kepada kesejukan, ketentraman dan kedamaian bagi jiwa manusia.
Tasauf merupakan ajaran keruhaniaan yang menekankan kepada kesuciaan jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhally, tahally dan tajally melalui riyadhah yang dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi dan amal-amal shaleh lainnya menuju insan kamil (manusia paripurna).
B. Pengertian Tasauf
Pengertian tasauf baik secara etimologi maupun terminolgi, para ahli (ulama tasauf) ternyata berbeda pendapat. Untuk tujuan kejelasan arti kata tasauf diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran itu, diharapkan memberikan gambaran yang jelas akan makna kata tasauf yang sesungguhnya. Secara etimologi (bahasa) pengertian tasauf dapat dilihat menjadi beberapa pengertian, seperti dibawah ini:
1. Tasauf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekolompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi masjid nabawi, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
2. Tasauf berasal dari kata shaf (baris); yang dimaksud dengan shaf disini adalah baris pertama shalat di mesjid. Shaf pertama selalu ditempati para Sufi dalam shalat berjamaah.
3. Tasauf dikatakan berasal dari kata “shafa”, yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang Sufi setelah mengadakan “penyucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani.
4. Tasauf berasal dari kata shaufana, yaitu sebangsa buaha-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, di mana pakaian kaum Sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
Pengertian tasauf secara terminologi (istilah) para ulama juga mendefenisikannya beragam. Menurut Syekh al- Islam Zakaria al-Ansari:
“Tasauf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai abadi . Unsur utama tasauf adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan abadi”.
Ketika Muhammad al-Jurayri ditanya tentang tasauf, beliau menjelaskan, “Tasauf berarti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela”.
Ma’ruf al-Karkhi, tasauf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa tasauf adalah suatu ajaran yang selalu berupaya membawa para orang-ornag yang menyelaminya berada dalam kesucian jasmani dan ruhani lahir dan batin, ta’at kepada Allah dan Rasulnya, selalu berusaha menghiasi diri dengan segala sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meningglakn segala sifat-sifat mazmumah (tercela) dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. melalui takhalli, tahalli dan tajally. Manusia pada fitrahnya memiliki dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan biak kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hanifiyah kareena manusia adalah makhluk yang hanif. Sebagai makhluk yang hanif manusia memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyah itu terdapat dalam dirinya yang paling dalam dan paling murni, yang disebut hati (qalbu).
Manusia memiliki potensi dasar untuk selalu ta’at kepada Allah, atau dengan kata lain manusia itu memiliki kecenderungan kepada kebenaran. Konsepsi Islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau cenderung kepada kebenaran secara eksplisit diungkapkan dalam al-qur’an “Dan ketika Tuhannmu mengeluarkan keturunan dasri putra-putra Adam, dari sulbi mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka snediri; ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, benar, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf: 7/12). Orang-orang yang ber-tasauf (Sufi) hatinya selalu mengeingat Allah dalam segala gerak langkah dan tindakannya, Allah selalu hadir dalam setiap denyut nadi dan detak jantungnya bahkan setiap tarikan nafasnya dalam rangka upaya penyucian jiwa dan mempersiapkan diri untuk mencapai kehidupan yang abadi.
C. Sejarah Singkat Tasauf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut.Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasauf mengalami perkembangan yang sangan pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasauf pada masa Raulullah saw. adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasauf dengan cara mendirikan madrasah tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasauf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasauf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Tasauf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual , tasauf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Smua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna (insan kamil). Nambi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
D. Sumber Ajaran Tasauf
Menurut para Sufi, bahwa sumber tasauf adalah dari agama Islam itu sendiri, tasauf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, qwal dan aktifitas sahabat, aktifitas dan qwal tabi’in. Diakui memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasauf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi ia lahir merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya. Namun penulis tetap berkeyakinan bahwa tasauf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabat beliau, kendatipun terdapat kesamaan antara ajaran tasauf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain itu hanya secara kebtulan saja. Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual, apakah lagi agama Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan di antaranya tetapi bukan berarti ajaran tasauf Islam merujuk kepada ajaran agama lain selain Islam. Semua agama sealalu berusaha membimbing dan meyadarkan manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi.Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqamah); kerendahan hati (tawadhu); berusaha dan berserah diri (tawakkal); ketulusan, totalitas (kaffah); keseimbangan (tawazun); integritas dan penyempurnaan (ihsan) itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Dasar ajaran tasauf dalam al-Qru’an antara lain:
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kea rah manapun kamu menghadap di situ akan kamu jumpai wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 2/115)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah); bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabil mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintha-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepas-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 2/186)
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf : 50/16)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 13/28)
Dasar ajaran tasauf dari hadits:
أن تعبد الله كأ نك تراه فإ ن لم تكن تراه فإ نه يراك (متفق عليه)
Artinya:
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya niscaya dirinya akan binasa.( al-Hadits)
“Dulu Aku (Allah) adalah sebuah permata tersembunyi, namun Allah ingin dikenal, maka allah menciptakan makhluk dan dengannya Akupun dikenal.” (al-Hadits)
Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka akan berpengaruh baik pula kepada tubuh secara keseluruhan, akan tetapi apabila ia rusak, maka rusak pula tubuh secara keseluruhan, daging itu adalah hati. (HR. Bukhari)
Hati adalah suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tasauf, dan inilah yang selaul menjadi objek kajian, tema sentral tasauf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima panjaran nur Ilahi melalui dzikrullah, dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor ia tidak akan dapat menerima pancara nur Allah swt. Namun apabila hati itu bersih ia bening lakasana kaca niscaya ia dapat menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahaya, disaat hati bersih bening laksana kaca terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncullah musahadah, mukasyafah, ma’rifat dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.
E. Tujuan Ajaran Tasauf
Tasauf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komonikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan Tuhan.Komonikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al-A’raf: 7/172). Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan kesibukan duniawi komonikasi itu terputus dan seyogianya manusia harus berupaya menjalin komonikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhani senantiasa rindu ingin kembali ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Bergitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah. Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasauf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsef al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya. Dikalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat, bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan (ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol-simbol.Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (Sufi). Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah.Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.
F. Signifikansi Tasauf di Era Modern
Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah (scientific method).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang laur biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern.Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat penegtahuan rasional. manusia seolah digiring untuk memikrkan dunia an-sich sehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.
Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagiamana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagsan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Nsr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi keceradsan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasauf, seperti ilmu, tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasauf karena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbagan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.
G. Manfaat Mempelajari Tasauf
Mempelajari tasauf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Bila semua orang bertasauf insyaallah bumi ini akan aman dari segala konflik dan permusuhan, karena ajaran tasauf selalu membawa peasan-pesan universal yang bernuansa kesejukan, kedamaian, ketentraman, cinta kasih dengan sesama, bahkan dengan alam, lingkungan dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran tasauf datang menmbus lintas suku, ras, etnis bahkan agama. Para Sufi seperti Ibn ‘Arabi umpamanya, sangat menghargai dan menghormati pluralisme agama. Dengan demikian konsep ajaran tasauf sangat toleran, terbuka dan dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan semua kalangan.
Orang-orang yang mengamalkan ajaran tasauf (para Sufi) hidupnya akan terasa lebih bermakna, indah, dan penuh kesederhanaan dalam menjalani kehidupan ini, segala sesuatunya dijalani dengan ikhlas, syukur, sabar, qana’ah, dan tawakkal atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dirinya, tidak mengeluh dan tidak putus asa, tetapi selalu oftimis dalam mengharungi hiudup ini dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah swt. Para Sufi selalu mampu menangkap pesan-pesan dan hikmah dibalik realitas yang terjadi di alam ini.
Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 89/27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
H. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi
Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun brmula dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa agama selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderen dari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres.
Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan dmensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.
Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di segala bidang kehidupan.Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.
PENUTUP
Tasauf Islam suatu ajaran kerahanian (spiritual) yang bersumber dari ruh syari’at Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Para Sufi dalam mengamalkan ajaran tasauf dengan selalu merujuk kepada akhlak, kepribadian dan ketauladanan Rasulullah swa. Sahabat Nabi yang mula-mula melembagakan ajaran tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani dengan mendirikan sebuah madrasah yang khusu mengajarkan ilmu tasauf, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Hasan Al-Basri dari kalangan tabi’in.
Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling bersinergi. Tasauf Isalam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.
Masalah keterasingan adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya keterasingan dan sekaligus sebagai korban yang harus menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang mahawujud dan mahaabsolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak berarti dihadapan eksistensi yang mahaabsolut.
SWOT UNTUK SEMPURNAKAN IBADAH dalam MINHAJUL ABIDIN;
Disusun oleh : Ismail Zubir
Imam Al Ghazali menulis sebuah buku yang diberi judul Minhajul Abidin, yaitu tentang 7 tangga untuk sempurnakan ibadah. Ke tujuh tangga tersebut adalah tangga ilmu dan makrifat, tangga tobat, tangga godaan, tangga rintangan, tangga pendorong, tangga celaan, tangga puji dan syukur. Apabila kita berhasil melampaui tujuan tangga tersebut, Insya Allah ibadah kita akan sempurna.
Ternyata setelah penulis cermati, ke tujuh tangga tersebut pas betul dengan prinsip SWOT ( strength, weakness, opportunity dan threat ), yang dalam ilmu management dipakai untuk memperbaiki kinerja sumber daya manusia, kegiatan maupun organisasi
Maka apabila ke tujuh tangga tersebut di kemas ulang dalam formula SWOT hasilnya adalah sebagai berikut :
Strength / Kekuatan ,
Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam beribadah yaitu apa yang disebut dalam Minhajul Abidin, pertama ; ilmu dan makrifat dan kedua pendorong.
Pertama , ilmu dan makrifat.
Sabda Rasulullah saw, “Ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah makmunnya, Allah memberikan ilmu kepada orang-orang yang berbahagia, tidak kepada orang-orang celaka (H.R. Abu Nuaim, Abu Thalib Al-Makki, Al-KHatib, dan Ibnu Qayyim). Mengapa harus berilmu? Pertama agar berhasil dan benar dalam beribadah, kedua orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu. Dengan ilmu kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan makrifat adalah ilmu untuk mengenal 4 perkara , yaitu pertama mengenal dirinya, kedua mengenal Tuhannya, ketiga mengenal dunia dan keempat mengenal akhirat.
Kedua, pendorong meliputi 2 hal yaitu takut (khauf) dan raja’ (harap).
Allah Ta’ala berfirman :” tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” ( QS, Ali Imran:175 ). Berarti khauf merupakan syarat iman. Seseorang tidak dikatakan beriman jika tidak takut kepada Allah Swt. Takut kepada Allah berarti takut kepada nerakanya Allah dan takut kepada azabnya Allah. Dengan takut kepada Allah akan memberikan kekuatan bagi kita untuk beribadah.
Sedangkan raja’ (mengharap) ialah bersenang hati karena mengenal Allah, lapang pikirannya karena yakin akan lapangnya rakhmat Allah. Lawan raja’ adalah putus asa dari rakhmat Allah dan berhenti mengingat Allah. Dengan raja’ hati menjadi hidup. Harapan akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat juga akan memberikan kekuatan dalam beribadah.
Weakness / Kelemahan,
Faktor-faktor yang menjadi kelemahan kita dalam beribadah yaitu apa yang disebut dalam Minhajul Abidin sebagai godaan dan celaan.
Dalam beribadah seseorang harus dapat menahan diri dari segala macam godaan yang membuatnya bimbang dan wajib membedakan mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik, serta membuang segala sesuatu yang sekiranya dapat merusak dan merugikan ibadah sehingga menjadi tercela.
Ada 4 macam godaan, yaitu pertama rezeki dan tuntutan hawa nafsu, kedua berbagai macam bahaya, ketiga takdir dan keempat kesulitan dan musibah. Sedangkan celaan ada 2 macam, yaitu riya’ dan ujub.
Pertama, rezeki dan tuntutan hawa nafsu ;
Setiap muslim seharusnya menggantungkan diri kepada Allah dalam urusan rezeki dan tuntutan. Orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah tidak akan beribadah dengan baik, karena pikirannya selalu terpusat pada rezeki, kebutuhan, dan urusan-urusan lain. Ia selalu sibuk memburu rezeki, ia selalu memikirkan rezeki dengan perasaan waswas. Pada akhirnya ia tidak peduli lagi apakah rezekinya itu diperoleh dengan cara yang halal atau tidak. Cara mengatasinya tidak lain hanyalah dengan bertawakal.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki “ (QS Adz Dzariyat : 58}“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya “ (QS Hud :6 )
Kedua, berbagai macam bahaya ;
Ada 2 bahaya yang mengharuskan kita menyerahkan segala sesuatu kepada Allah.
Pertama , bahaya yang timbul dari sikap ragu-ragu ketika menginginkan sesuatu. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu mengucapkan Insya Allah. Meskipun yang demikian tidak termasuk tafwid, melainkan menyangkut niat dan amalan.
Kedua, bahaya merusak, yaitu suatu perbuatan yang tidak diyakini adanya maslahat. Jadi perbuatan tersebut harus ditinggalkan, karena kemungkinan perbuatan yang dilakukan mengandung dosa. Untuk mengatasi kedua bahaya tersebut caranya hanyalah tidak lain berserah diri kepada Allah.
Ketiga, takdir; sebagai hamba Allah kita harus ikhlas menerima takdir-Nya, bagaimanapun keadaannya. Seseorang yang tidak ikhlas (rela) menerima takdir Allah, hatinya selalu diliputi kesedihan. Sehingga ia selalu berkeluh kesah dan mengeluh. Akibatnya ia tidak berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah Swt. Ia tidak lagi sempat berzikir kepada Allah dan tidak ada waktu lagi memikirkan akhirat. Orang yang ragu-ragu dan tidak ikhlas menerima takdir Allah, mengadu kesana kemari, berarti mengadukan Tuhan Yang Maha Mulia.
Keempat, kesulitan dan musibah; dunia ini tempat ujian bagi manusia. Setiap manusia pasti mengalami berbagai cobaan dan musibah. Dalam menghadapi semua cobaan itu kita harus bersabar dan tahan uji. Orang yang tidak bersabar, tidak tahan uji, tidak akan sampai ke tujuan. Sebab seseorang yang sudah berniat hendak beribadah pasti akan menghadapi berbagai ujian dan kesukaran.
Kelima riya’ ; riya artinya setiap amalan yang kita kerjakan ingin dilihat orang lain dengan harapan mendapatkan pujian. Riya’ termasuk syirik kecil dan dapat merusak ibadah. Setiap amalan hendaknya dilandasi keikhlasan dan semata-mata karena Lillahi Ta’ala.
Keenam ujub ; ujub artinya sombong. Sifat sombong dapat mengarah kepada takabur. Ujub juga berarti mengagungkan diri, atau menganggap agung amal yang telah dilakukan. Ujub menghalangi taufik dan takyid dari Allah. Sesorang yang tidak mendapat taufik dan takyid dari Allah akan mudah celaka. Ujub juga dapat merusak amal saleh dan menyebabkan hilangnya manfaat ibadah.
Opportunity / peluang,
Faktor-faktor yang menjadi peluang kita dalam beribadah adalah pertama mendapat maghfirah (ampunan) dari Allah Swt dan kedua limpahan rakhmat dan karunia Allah.
Pertama, ampunan Allah Swt :
Untuk mendapatkan ampunan dari Allah Swt caranya adalah dengan bertobat. Mengapa harus bertobat ? Pertama, agar kita taat. Kedua, agar ibadah kita diterima Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda : “ Yang baik diantara kamu adalah yang sering tergoda tetapi selalu bertobat, selalu kembali kepada Allah dengan perasaan menyesal atas dosanya dan dengan disertai istighfar”.
Kedua, limpahan rakhmat dan karunia Allah :
Untuk mendapatkan limpahan rakhmat dan karunia Allah Swt caranya dengan selalu bersyukur kepada Allah Swt. Mengapa harus bersyukur ? Pertama, agar kenikmatan yang sangat besar yang diberikan Allah Swt tetap dikekalkan, sebab bila tidak disyukuri akan hilang. Kedua agar nikmat yang telah kita dapatkan akan bertambah.
Allah Swt berfirman : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi kalau kalian kufur, ingatlah sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih “ . (QS Ibrahim :7 ). Sesungguhnya syukur itu adalah mengagungkan Allah Yang Memberi Nikmat, yakni mengukur nikmat-Nya agar kita tidak menjauhi diri dan tidak bersifat kufur.
Threat / Ancaman/ Rintangan,
Faktor-faktor yang dapat menjadi rintangan dalam beribadah ada empat, yaitu pertama dunia, kedua mahkluk, ketiga syaitan dan keempat nafsu.
Pertama, dunia dan isinya ;
Yang dimaksud dunia di sini adalah semua yang tidak punya manfaat di akhirat. Allah Swt berfirman : “ Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui “ ( QS Ankabut : 64 ). Kehidupan kita di dunia hanya sekerdipan mata dibanding kehidupan akhirat. Tetapi banyak manusia lupa. Siang malam, seorang sibuk mencari bekal dunia, dan hatinya tergoda oleh bermacam keinginan dan hawa nafsu. Keduanya akan merintanginya untuk beribadah. Sebab perhatiannya hanya satu, yakni dunia. Sekarang ini dunia memang nyata dan akhirat masih ghaib. Nanti adalah sebaliknya, akhirat yang nyata dan dunia ghaib. Allah Swt juga berfirman : “ Dunia ini ladangnya akhirat “. Apa saja yang kita usahakan di dunia, hasilnya akan kita petik di akhirat. Sabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa mencintai dunia, urusan akhiratnya akan tercecer. Dan barang siapa mencintai akhirat, akan berkurang dunianya. Dan pilihlah yang kekal daripada yang cepat binasa”. ( H.R. Bukhari dan Muslim ). Salman Al- Farisi r.a berkata, ‘Sesungguhnya jika hamba Allah berzuhud terhadap dunia, bersinarlah hatinya dengan hikmah, dan anggota badannya saling menolong untuk beribadah’.
Kedua makhluk ;
Kebanyakan makhluk akan menghalangi kita dari beribadah dengan memasukkan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Bahkan terkadang menghalangi dan membawa kita kepada kejahatan dan kebinasaan. Sebab kebanyakan dari mereka tidak mengetahui hak-hak kehambaan dan hanya mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah. Untuk akhirat mereka lalai dan tidak memikirkannya. Selain itu kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah kita laksanakan. Dengan ajakannya yang menjurus kepada perbuatan riya’ dan bermegah-megahan jika tidak ada perlindungan dari Allah.
Ketiga, setan :
Setan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Dirinya tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dan perdamaian, sebab mereka akan puas jika mampu membinasakan kita. Allah Swt berfirman :” Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu… “ ( QS Al Fatir : 6 ). Sudah menjadi tabiat setan untuk selalu memusuhi anak cucu adam. Sedangkan kita sering lalai akan hal itu.
Guna memerangi dan mengalahkan setan menurut pendapat ulama ada tiga cara ;
Pertama , harus mengetahui tipu daya setan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita. Kedua, anggap remeh ajakan setan, jangan memberi perhatian dan menghiraukan ajakannya. Setan ibarat anjing menggonggong, jika dilayani ia akan terus menggonggong. Ketiga, berzikir dengan lisan maupun hati. Sabda nabi Saw : ‘ Sesungguhnya zikrullah itu menyakitkan setan. Seperti menderitanya anak Adam dengan penyakit yang bersarang di lambungnya “
Keempat,hawa nafsu :
Kita harus berhati-hati terhadap dorongan hawa nafsu yang akan menyeret kita berbuat kejahatan. Oleh karena itu kita harus waspada karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam selain hawa nafsu juga adalah musuh yang disukai. Nabi Yusuf As mengatakan : “ Dan aku tidak akan membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan berbuat kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rakhmat oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ( QS Yusuf : 53 ). Kita harus mampu mengendalikan nafsu dengan niat yang kuat dan menahan diri (wara’) dari perbuatan maksiat dan tidak berlebih-lebihan. Caranya adalah dngan menjaga lima anggota tubuh ; yakni mata, telinga, lidah, hati dan perut. Mata harus benar-benar dipelihara dan dikendalikan, karena seringkali menjadi pangkal timbulnya fitnah dan penyakit sejenisnya. Allah Swt berfirman : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS An Nur : 30 ). Telinga jangan sampai mendengar perkataan-perkataan kotor, hina dan yang tidak bermanfaat. Mendengarkan sesuatu dapat menimbulkan dorongan hati dan perasaan waswas. Mulut adalah anggota tubuh dan indera yang paling usil dan paling banyak menimbulkan kerusakan. Untuk mempertahankan amal saleh adalah dengan memelihara lisan. Sebab jika lisan tidak terkendali, ia akan cenderung berbuat yang tidak karuan, mengumpat orang misalnya. Sebagian ulama berpendapat :’ Barangsiapa banyak bicara, akan banyak pula lidahnya tergelincir. Dan mengumpat ibarat halilintar yang menghapus taat’. Hati adalah bagian tubuh manusia yang paling besar bahayanya, pengaruhnya paling kuat, masalahnya paling pelik dan sukar. Paling halus dan sulit memperbaikinya. Hati ibarat raja yang ditaati dan pemimpin yang disegani. Seluruh anggota badan ibarat rakyatnya. Jika hatinya baik, baiklah seluruh anggota badan, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw : “ Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal darah yang apabila keadaannya baik, baik pula seluruh anggotanya. Dan jika keadaanya rusak, akan rusak pula seluruh anggota badannya “. Perut, wajib dijaga bagi orang yang hendak melaksanakan ibadah. Wajib bagi kita untuk memelihara perut dari makanan yang diharamkan, selain menjaganya agar tidak berlebih-lebihan.Orang yang makan makanan haram dan subhat tidak akan diberi taufik dalam beribadah dan terhalang berbuat kebaikan. Sedangkan memakan makanan halal berlebih-lebihan menyebabkan hati menjadi keras, akal dan pikiran menjadi sempit dan malas beribadah.
Demikianlah SWOT untuk menyempurnakan ibadah yang merupakan kemasan ulang Minhajul Abidin karya Imam Al Ghazali dan mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita dan kita niat untuk mengamalkannya.
Imam Al Ghazali menulis sebuah buku yang diberi judul Minhajul Abidin, yaitu tentang 7 tangga untuk sempurnakan ibadah. Ke tujuh tangga tersebut adalah tangga ilmu dan makrifat, tangga tobat, tangga godaan, tangga rintangan, tangga pendorong, tangga celaan, tangga puji dan syukur. Apabila kita berhasil melampaui tujuan tangga tersebut, Insya Allah ibadah kita akan sempurna.
Ternyata setelah penulis cermati, ke tujuh tangga tersebut pas betul dengan prinsip SWOT ( strength, weakness, opportunity dan threat ), yang dalam ilmu management dipakai untuk memperbaiki kinerja sumber daya manusia, kegiatan maupun organisasi
Maka apabila ke tujuh tangga tersebut di kemas ulang dalam formula SWOT hasilnya adalah sebagai berikut :
Strength / Kekuatan ,
Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam beribadah yaitu apa yang disebut dalam Minhajul Abidin, pertama ; ilmu dan makrifat dan kedua pendorong.
Pertama , ilmu dan makrifat.
Sabda Rasulullah saw, “Ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah makmunnya, Allah memberikan ilmu kepada orang-orang yang berbahagia, tidak kepada orang-orang celaka (H.R. Abu Nuaim, Abu Thalib Al-Makki, Al-KHatib, dan Ibnu Qayyim). Mengapa harus berilmu? Pertama agar berhasil dan benar dalam beribadah, kedua orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu. Dengan ilmu kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan makrifat adalah ilmu untuk mengenal 4 perkara , yaitu pertama mengenal dirinya, kedua mengenal Tuhannya, ketiga mengenal dunia dan keempat mengenal akhirat.
Kedua, pendorong meliputi 2 hal yaitu takut (khauf) dan raja’ (harap).
Allah Ta’ala berfirman :” tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” ( QS, Ali Imran:175 ). Berarti khauf merupakan syarat iman. Seseorang tidak dikatakan beriman jika tidak takut kepada Allah Swt. Takut kepada Allah berarti takut kepada nerakanya Allah dan takut kepada azabnya Allah. Dengan takut kepada Allah akan memberikan kekuatan bagi kita untuk beribadah.
Sedangkan raja’ (mengharap) ialah bersenang hati karena mengenal Allah, lapang pikirannya karena yakin akan lapangnya rakhmat Allah. Lawan raja’ adalah putus asa dari rakhmat Allah dan berhenti mengingat Allah. Dengan raja’ hati menjadi hidup. Harapan akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat juga akan memberikan kekuatan dalam beribadah.
Weakness / Kelemahan,
Faktor-faktor yang menjadi kelemahan kita dalam beribadah yaitu apa yang disebut dalam Minhajul Abidin sebagai godaan dan celaan.
Dalam beribadah seseorang harus dapat menahan diri dari segala macam godaan yang membuatnya bimbang dan wajib membedakan mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik, serta membuang segala sesuatu yang sekiranya dapat merusak dan merugikan ibadah sehingga menjadi tercela.
Ada 4 macam godaan, yaitu pertama rezeki dan tuntutan hawa nafsu, kedua berbagai macam bahaya, ketiga takdir dan keempat kesulitan dan musibah. Sedangkan celaan ada 2 macam, yaitu riya’ dan ujub.
Pertama, rezeki dan tuntutan hawa nafsu ;
Setiap muslim seharusnya menggantungkan diri kepada Allah dalam urusan rezeki dan tuntutan. Orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah tidak akan beribadah dengan baik, karena pikirannya selalu terpusat pada rezeki, kebutuhan, dan urusan-urusan lain. Ia selalu sibuk memburu rezeki, ia selalu memikirkan rezeki dengan perasaan waswas. Pada akhirnya ia tidak peduli lagi apakah rezekinya itu diperoleh dengan cara yang halal atau tidak. Cara mengatasinya tidak lain hanyalah dengan bertawakal.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki “ (QS Adz Dzariyat : 58}“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya “ (QS Hud :6 )
Kedua, berbagai macam bahaya ;
Ada 2 bahaya yang mengharuskan kita menyerahkan segala sesuatu kepada Allah.
Pertama , bahaya yang timbul dari sikap ragu-ragu ketika menginginkan sesuatu. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu mengucapkan Insya Allah. Meskipun yang demikian tidak termasuk tafwid, melainkan menyangkut niat dan amalan.
Kedua, bahaya merusak, yaitu suatu perbuatan yang tidak diyakini adanya maslahat. Jadi perbuatan tersebut harus ditinggalkan, karena kemungkinan perbuatan yang dilakukan mengandung dosa. Untuk mengatasi kedua bahaya tersebut caranya hanyalah tidak lain berserah diri kepada Allah.
Ketiga, takdir; sebagai hamba Allah kita harus ikhlas menerima takdir-Nya, bagaimanapun keadaannya. Seseorang yang tidak ikhlas (rela) menerima takdir Allah, hatinya selalu diliputi kesedihan. Sehingga ia selalu berkeluh kesah dan mengeluh. Akibatnya ia tidak berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah Swt. Ia tidak lagi sempat berzikir kepada Allah dan tidak ada waktu lagi memikirkan akhirat. Orang yang ragu-ragu dan tidak ikhlas menerima takdir Allah, mengadu kesana kemari, berarti mengadukan Tuhan Yang Maha Mulia.
Keempat, kesulitan dan musibah; dunia ini tempat ujian bagi manusia. Setiap manusia pasti mengalami berbagai cobaan dan musibah. Dalam menghadapi semua cobaan itu kita harus bersabar dan tahan uji. Orang yang tidak bersabar, tidak tahan uji, tidak akan sampai ke tujuan. Sebab seseorang yang sudah berniat hendak beribadah pasti akan menghadapi berbagai ujian dan kesukaran.
Kelima riya’ ; riya artinya setiap amalan yang kita kerjakan ingin dilihat orang lain dengan harapan mendapatkan pujian. Riya’ termasuk syirik kecil dan dapat merusak ibadah. Setiap amalan hendaknya dilandasi keikhlasan dan semata-mata karena Lillahi Ta’ala.
Keenam ujub ; ujub artinya sombong. Sifat sombong dapat mengarah kepada takabur. Ujub juga berarti mengagungkan diri, atau menganggap agung amal yang telah dilakukan. Ujub menghalangi taufik dan takyid dari Allah. Sesorang yang tidak mendapat taufik dan takyid dari Allah akan mudah celaka. Ujub juga dapat merusak amal saleh dan menyebabkan hilangnya manfaat ibadah.
Opportunity / peluang,
Faktor-faktor yang menjadi peluang kita dalam beribadah adalah pertama mendapat maghfirah (ampunan) dari Allah Swt dan kedua limpahan rakhmat dan karunia Allah.
Pertama, ampunan Allah Swt :
Untuk mendapatkan ampunan dari Allah Swt caranya adalah dengan bertobat. Mengapa harus bertobat ? Pertama, agar kita taat. Kedua, agar ibadah kita diterima Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda : “ Yang baik diantara kamu adalah yang sering tergoda tetapi selalu bertobat, selalu kembali kepada Allah dengan perasaan menyesal atas dosanya dan dengan disertai istighfar”.
Kedua, limpahan rakhmat dan karunia Allah :
Untuk mendapatkan limpahan rakhmat dan karunia Allah Swt caranya dengan selalu bersyukur kepada Allah Swt. Mengapa harus bersyukur ? Pertama, agar kenikmatan yang sangat besar yang diberikan Allah Swt tetap dikekalkan, sebab bila tidak disyukuri akan hilang. Kedua agar nikmat yang telah kita dapatkan akan bertambah.
Allah Swt berfirman : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi kalau kalian kufur, ingatlah sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih “ . (QS Ibrahim :7 ). Sesungguhnya syukur itu adalah mengagungkan Allah Yang Memberi Nikmat, yakni mengukur nikmat-Nya agar kita tidak menjauhi diri dan tidak bersifat kufur.
Threat / Ancaman/ Rintangan,
Faktor-faktor yang dapat menjadi rintangan dalam beribadah ada empat, yaitu pertama dunia, kedua mahkluk, ketiga syaitan dan keempat nafsu.
Pertama, dunia dan isinya ;
Yang dimaksud dunia di sini adalah semua yang tidak punya manfaat di akhirat. Allah Swt berfirman : “ Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui “ ( QS Ankabut : 64 ). Kehidupan kita di dunia hanya sekerdipan mata dibanding kehidupan akhirat. Tetapi banyak manusia lupa. Siang malam, seorang sibuk mencari bekal dunia, dan hatinya tergoda oleh bermacam keinginan dan hawa nafsu. Keduanya akan merintanginya untuk beribadah. Sebab perhatiannya hanya satu, yakni dunia. Sekarang ini dunia memang nyata dan akhirat masih ghaib. Nanti adalah sebaliknya, akhirat yang nyata dan dunia ghaib. Allah Swt juga berfirman : “ Dunia ini ladangnya akhirat “. Apa saja yang kita usahakan di dunia, hasilnya akan kita petik di akhirat. Sabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa mencintai dunia, urusan akhiratnya akan tercecer. Dan barang siapa mencintai akhirat, akan berkurang dunianya. Dan pilihlah yang kekal daripada yang cepat binasa”. ( H.R. Bukhari dan Muslim ). Salman Al- Farisi r.a berkata, ‘Sesungguhnya jika hamba Allah berzuhud terhadap dunia, bersinarlah hatinya dengan hikmah, dan anggota badannya saling menolong untuk beribadah’.
Kedua makhluk ;
Kebanyakan makhluk akan menghalangi kita dari beribadah dengan memasukkan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Bahkan terkadang menghalangi dan membawa kita kepada kejahatan dan kebinasaan. Sebab kebanyakan dari mereka tidak mengetahui hak-hak kehambaan dan hanya mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah. Untuk akhirat mereka lalai dan tidak memikirkannya. Selain itu kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah kita laksanakan. Dengan ajakannya yang menjurus kepada perbuatan riya’ dan bermegah-megahan jika tidak ada perlindungan dari Allah.
Ketiga, setan :
Setan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Dirinya tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dan perdamaian, sebab mereka akan puas jika mampu membinasakan kita. Allah Swt berfirman :” Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu… “ ( QS Al Fatir : 6 ). Sudah menjadi tabiat setan untuk selalu memusuhi anak cucu adam. Sedangkan kita sering lalai akan hal itu.
Guna memerangi dan mengalahkan setan menurut pendapat ulama ada tiga cara ;
Pertama , harus mengetahui tipu daya setan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita. Kedua, anggap remeh ajakan setan, jangan memberi perhatian dan menghiraukan ajakannya. Setan ibarat anjing menggonggong, jika dilayani ia akan terus menggonggong. Ketiga, berzikir dengan lisan maupun hati. Sabda nabi Saw : ‘ Sesungguhnya zikrullah itu menyakitkan setan. Seperti menderitanya anak Adam dengan penyakit yang bersarang di lambungnya “
Keempat,hawa nafsu :
Kita harus berhati-hati terhadap dorongan hawa nafsu yang akan menyeret kita berbuat kejahatan. Oleh karena itu kita harus waspada karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam selain hawa nafsu juga adalah musuh yang disukai. Nabi Yusuf As mengatakan : “ Dan aku tidak akan membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan berbuat kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rakhmat oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ( QS Yusuf : 53 ). Kita harus mampu mengendalikan nafsu dengan niat yang kuat dan menahan diri (wara’) dari perbuatan maksiat dan tidak berlebih-lebihan. Caranya adalah dngan menjaga lima anggota tubuh ; yakni mata, telinga, lidah, hati dan perut. Mata harus benar-benar dipelihara dan dikendalikan, karena seringkali menjadi pangkal timbulnya fitnah dan penyakit sejenisnya. Allah Swt berfirman : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS An Nur : 30 ). Telinga jangan sampai mendengar perkataan-perkataan kotor, hina dan yang tidak bermanfaat. Mendengarkan sesuatu dapat menimbulkan dorongan hati dan perasaan waswas. Mulut adalah anggota tubuh dan indera yang paling usil dan paling banyak menimbulkan kerusakan. Untuk mempertahankan amal saleh adalah dengan memelihara lisan. Sebab jika lisan tidak terkendali, ia akan cenderung berbuat yang tidak karuan, mengumpat orang misalnya. Sebagian ulama berpendapat :’ Barangsiapa banyak bicara, akan banyak pula lidahnya tergelincir. Dan mengumpat ibarat halilintar yang menghapus taat’. Hati adalah bagian tubuh manusia yang paling besar bahayanya, pengaruhnya paling kuat, masalahnya paling pelik dan sukar. Paling halus dan sulit memperbaikinya. Hati ibarat raja yang ditaati dan pemimpin yang disegani. Seluruh anggota badan ibarat rakyatnya. Jika hatinya baik, baiklah seluruh anggota badan, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw : “ Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal darah yang apabila keadaannya baik, baik pula seluruh anggotanya. Dan jika keadaanya rusak, akan rusak pula seluruh anggota badannya “. Perut, wajib dijaga bagi orang yang hendak melaksanakan ibadah. Wajib bagi kita untuk memelihara perut dari makanan yang diharamkan, selain menjaganya agar tidak berlebih-lebihan.Orang yang makan makanan haram dan subhat tidak akan diberi taufik dalam beribadah dan terhalang berbuat kebaikan. Sedangkan memakan makanan halal berlebih-lebihan menyebabkan hati menjadi keras, akal dan pikiran menjadi sempit dan malas beribadah.
Demikianlah SWOT untuk menyempurnakan ibadah yang merupakan kemasan ulang Minhajul Abidin karya Imam Al Ghazali dan mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita dan kita niat untuk mengamalkannya.
Nasihat Imam Ghazali
Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Imam Ghazali dikenal sebagai salah seorang intelektual muslim terkemuka dalam ilmu tasawuf dan filsafat, cabang ilmu pengetahuan yang lebih menekankan pada pencarian hakikat kebenaran melalui perenungan yang mendalam. Sebagaimana diketahui ada empat sarana pencarian kebenaran oleh manusia, yaitu pancaindra, perenungan mendalam (filsafat), pendekatan ilmiah (penelitian), dan agama. Kedalaman ilmu Imam Ghazali dalam dua bidang tersebut menjadikan dirinya sejajar bahkan lebih tinggi dibanding dengan filsuf-filsuf Barat di zamannya. Namanya seolah diabadikan dalam tradisi keilmuan Islam dan menjadi rujukan ilmiah, tidak saja bagi para akademisi dan intelektual muslim, tetapi juga para pengkaji ilmu pengetahuan modern yang lain.
Salah satu kelebihan Imam Ghazali dibanding dengan filsuf-filsuf yang lain adalah hikmah di balik setiap gagasannya. Malah ada yang berpendapat jika para filsuf umumnya mengedepankan kekuatan akal (reason) dalam memandang dan memahami sesuatu, maka Imam Ghazali lebih mengedepankan olah jiwa dan hikmah di balik pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan gaya berfilsafat, Imam Ghazali menyampaikan berbagai hikmah tentang kehidupan dan senantiasa mengajak manusia berbuat amal sholeh agar selamat hidup di dunia dan akhirat. Menurutnya, di balik kelebihannya, manusia sejatinya makhluk yang sangat lemah dan mudah terombang-ambing oleh hiruk pikuk dunia yang sering menipunya dan karena manusia sering dikuasi oleh nafsunya. Nafsu demikian sering menjerumuskan manusia ke liang kehancuran.
Karena itu, menurut Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat. Akal adalah fitrah pemberian manusia kepada makhluk yang disebut manusia berupa kecerdasan dan naluri insaniyah. Berbeda dengan binatang yang tidak diberi akal sehingga mereka hidup dengan cara menyesuaikan dengan keadaan lingkungan di sekitarnya, maka dengan akalnya manusia bisa menguasai alam semesta dan isinya dan membuat alam sekelilingya untuk disesuaikan dengan kepentingan dan keperluannya, bahkan seleranya. Misalnya, kontur tanah yang tidak merata dan berbukit-bukit justru menjadi sangat indah setelah diolah dengan kecerdasan teknologis untuk menjadi lahan pemukiman. Melalui akalnya pula, manusia bisa membedakan hal-hal benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tak pelak, akal menjadi penentu harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Karena itu, manusia yang dalam tindakannya tidak menggunakan akal berada dalam derajad yang sangat rendah.
Pentingnya akal bagi manusia sampai-sampai Nabi Muhammad Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Darda’: “bahwa jika ada dua orang lelaki yang sama-sama amal perbuatannya, kebaikannya, puasa dan shalatnya, maka, kata Nabi, mana di antara keduanya yang lebih baik akalnya”. Maksud hadits tersebut ialah amal sholeh seorang bisa sama dengan yang lain, tapi akalnya pasti berbeda. Perbedaan akal itu yang menentukan tinggi dan rendahnya derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, akal merupakan nikmat tersendiri bagi manusia. Karena itu sungguh sayang jika dalam hidupnya manusia tidak menggunakan dan memanfaatkan nikmat tersebut sebaik-baiknya.
Selain akal, manusia dibekali ilmu agar bisa menjalankan hidup yang bermartabat. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah seperangkat pengetahuan yang dipakai manusia untuk menempuh jalan kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi jauh dari Allah. Akal dan ilmu menjadi satu rangakaian modalitas manusia. Sebab, karena akalnya manusia bisa mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan untuk kemudahan hidupnya. dalam hal pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan, saat ini manusia telah sampai pada derajad yang sangat tinggi. Berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan menandai abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan. Namun demikian, sehebat apapun keilmuan seseorang toh belum mampu mengungkap misteri di balik semua penciptaan Allah. Perhatikan saja bagaimana para astronom selalu penasaran dengan benda-benda di ruang angkasa. Sebab, setiap ada penemuan baru selalu diikuti dengan fenomena baru yang menantang mereka untuk terus melakukan penyeledikan ilmiah. Di bidang-bidang yang lain juga terjadi fenomena yang sama.
Selain akal dan ilmu, menurut Imam Ghazali ada satu prasyarat agar manusia tidak tertipu dalam hidupnya, yaitu ma’rifat. Yang dimaksudkan dengan ma’rifat adalah kemampuan untuk mengenal empat hal: dirinya sendiri, Tuhannya, dunia, dan akhirat. Mengenal diriya sendiri artinya mengetahui apa hakikat hidup bagi dirinya, untuk apa hidup, dan bagaimana menjalankan hidup sebagai hamba Allah. Mengenal dirinya termasuk pula mengetahui kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengenal Tuhannya, sehingga dia berbakti dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang tidak menjalankan perintah Tuhan dan apalagi suka melanggar perintahnya berarti dia tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakannya.
Sedangkan mengenal dunia dan akhirat berarti mampu menjalankan roda kehidupan dengan memilih mana yang prioritas dan mana yang hanya untuk kepentingan sesaat. Imam Ghazali mengibaratkan manusia di dunia ini bagaikan musafir. Karena sebagai musafir, maka dia tidak kekal. Dia bepergian menuju sebuah tempat, dan tempat itu adalah akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya karena tidak ada batas akhirnya. Karena itu, manusia beruntung dalam pandangan Imam Ghazali adalah yang mampu menempatkan kehidupan akhirat melebihi prioritas kehidupan dunia yang bagaikan musafir itu.
Mengenal kehidupan akhirat menjadikan manusia cinta beramal sholeh dan berbuat kebajikan serta tumbuh rasa cinta kepada Tuhannya. Imam Ghzali tidak menggunakan istilah takut, tetapi cinta kepada Tuhan. Sebab, rasa takut akan berakibat seseorang menjauh. Tetapi rasa cinta menjadikan manusia selalu ingin dekat dengan Tuhannya. Manusia yang tekun beribadah dalam pandangan Imam Ghazali berarti berkobar rasa cintanya pada sang pencipta, Allah swt. Semakin manusia cinta kepada Tuhannya, semakin dia ingin selalu dekat kepadaNya. Dan, sebaliknya.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah refleksi. Memandang potret kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini dan menggunakan nasihat Imam Ghazali sebagai tolok ukur, maka saya berkesimpulan bahwa banyak anggota masyarakat kita tidak lagi mengenal dirinya, Tuhan dan lupa bahwa kehidupan ini hanya sementara. Karena itu, mereka berlomba-lomba menumpuk harta, kekayaan, jabatan dengan berbagai cara yang tidak lagi menggunakan akal yang sesungguhnya telah mereka miliki, tetapi tidak mereka pergunakan dengan baik. Maka yang terjadi adalah kerusakan berbagai sendi kehidupan. Masyarakat menjadi resah karena tata krama dan nilai-nilai moral ditabrak. Hukum dan keadilan digadaikan. Berbohong seolah menjadi hal biasa dan tidak lagi merupakan aib. Bahkan para politisi dengan terus terang mengatakan bahwa jangan terlibat dan masuk dalam arena politik jika tidak bisa berbohong. Politisi lalu disepadankan dengan pembohong. Kalau begitu praktik politik sudah sangat jauh melenceng dari maksud awal ilmu politik.
Saya ingat filsuf Yunani kenamaan Aristoteles, yang sering disebut sebagai perintis ilmu politik. Menurut Aristoteles, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Sebab, ilmu politik mengatur bagaimana masyarakat bisa hidup tenteram, hak-haknya dilindungi, dan saling menghargai dalam sebuah tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara. Atas dasar logika tersebut, ilmu-ilmu yang lain dianggap bersifat komplementer. Tanpa bermaksud merendahkannya, keberadaan ilmu-ilmu yang lain tetap penting. Kini praktik kehidupan yang mestinya mulia menjadi petaka karena orang tidak lagi mengenal diri dan Tuhannya.
Kita belum sangat terlambat untuk segera insyaf dari berbagai kesalahan. Untuk itu, nasihat Imam Ghazali beberapa abad yang lalu masih tetap relevan kita renungkan bersama dan dijadikan pelajaran untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diberkahi Allah karena berjalan dalam rel dan aturan serta ketentuan Allah.
Imam Ghazali dikenal sebagai salah seorang intelektual muslim terkemuka dalam ilmu tasawuf dan filsafat, cabang ilmu pengetahuan yang lebih menekankan pada pencarian hakikat kebenaran melalui perenungan yang mendalam. Sebagaimana diketahui ada empat sarana pencarian kebenaran oleh manusia, yaitu pancaindra, perenungan mendalam (filsafat), pendekatan ilmiah (penelitian), dan agama. Kedalaman ilmu Imam Ghazali dalam dua bidang tersebut menjadikan dirinya sejajar bahkan lebih tinggi dibanding dengan filsuf-filsuf Barat di zamannya. Namanya seolah diabadikan dalam tradisi keilmuan Islam dan menjadi rujukan ilmiah, tidak saja bagi para akademisi dan intelektual muslim, tetapi juga para pengkaji ilmu pengetahuan modern yang lain.
Salah satu kelebihan Imam Ghazali dibanding dengan filsuf-filsuf yang lain adalah hikmah di balik setiap gagasannya. Malah ada yang berpendapat jika para filsuf umumnya mengedepankan kekuatan akal (reason) dalam memandang dan memahami sesuatu, maka Imam Ghazali lebih mengedepankan olah jiwa dan hikmah di balik pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan gaya berfilsafat, Imam Ghazali menyampaikan berbagai hikmah tentang kehidupan dan senantiasa mengajak manusia berbuat amal sholeh agar selamat hidup di dunia dan akhirat. Menurutnya, di balik kelebihannya, manusia sejatinya makhluk yang sangat lemah dan mudah terombang-ambing oleh hiruk pikuk dunia yang sering menipunya dan karena manusia sering dikuasi oleh nafsunya. Nafsu demikian sering menjerumuskan manusia ke liang kehancuran.
Karena itu, menurut Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat. Akal adalah fitrah pemberian manusia kepada makhluk yang disebut manusia berupa kecerdasan dan naluri insaniyah. Berbeda dengan binatang yang tidak diberi akal sehingga mereka hidup dengan cara menyesuaikan dengan keadaan lingkungan di sekitarnya, maka dengan akalnya manusia bisa menguasai alam semesta dan isinya dan membuat alam sekelilingya untuk disesuaikan dengan kepentingan dan keperluannya, bahkan seleranya. Misalnya, kontur tanah yang tidak merata dan berbukit-bukit justru menjadi sangat indah setelah diolah dengan kecerdasan teknologis untuk menjadi lahan pemukiman. Melalui akalnya pula, manusia bisa membedakan hal-hal benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tak pelak, akal menjadi penentu harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Karena itu, manusia yang dalam tindakannya tidak menggunakan akal berada dalam derajad yang sangat rendah.
Pentingnya akal bagi manusia sampai-sampai Nabi Muhammad Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Darda’: “bahwa jika ada dua orang lelaki yang sama-sama amal perbuatannya, kebaikannya, puasa dan shalatnya, maka, kata Nabi, mana di antara keduanya yang lebih baik akalnya”. Maksud hadits tersebut ialah amal sholeh seorang bisa sama dengan yang lain, tapi akalnya pasti berbeda. Perbedaan akal itu yang menentukan tinggi dan rendahnya derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, akal merupakan nikmat tersendiri bagi manusia. Karena itu sungguh sayang jika dalam hidupnya manusia tidak menggunakan dan memanfaatkan nikmat tersebut sebaik-baiknya.
Selain akal, manusia dibekali ilmu agar bisa menjalankan hidup yang bermartabat. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah seperangkat pengetahuan yang dipakai manusia untuk menempuh jalan kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi jauh dari Allah. Akal dan ilmu menjadi satu rangakaian modalitas manusia. Sebab, karena akalnya manusia bisa mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan untuk kemudahan hidupnya. dalam hal pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan, saat ini manusia telah sampai pada derajad yang sangat tinggi. Berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan menandai abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan. Namun demikian, sehebat apapun keilmuan seseorang toh belum mampu mengungkap misteri di balik semua penciptaan Allah. Perhatikan saja bagaimana para astronom selalu penasaran dengan benda-benda di ruang angkasa. Sebab, setiap ada penemuan baru selalu diikuti dengan fenomena baru yang menantang mereka untuk terus melakukan penyeledikan ilmiah. Di bidang-bidang yang lain juga terjadi fenomena yang sama.
Selain akal dan ilmu, menurut Imam Ghazali ada satu prasyarat agar manusia tidak tertipu dalam hidupnya, yaitu ma’rifat. Yang dimaksudkan dengan ma’rifat adalah kemampuan untuk mengenal empat hal: dirinya sendiri, Tuhannya, dunia, dan akhirat. Mengenal diriya sendiri artinya mengetahui apa hakikat hidup bagi dirinya, untuk apa hidup, dan bagaimana menjalankan hidup sebagai hamba Allah. Mengenal dirinya termasuk pula mengetahui kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengenal Tuhannya, sehingga dia berbakti dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang tidak menjalankan perintah Tuhan dan apalagi suka melanggar perintahnya berarti dia tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakannya.
Sedangkan mengenal dunia dan akhirat berarti mampu menjalankan roda kehidupan dengan memilih mana yang prioritas dan mana yang hanya untuk kepentingan sesaat. Imam Ghazali mengibaratkan manusia di dunia ini bagaikan musafir. Karena sebagai musafir, maka dia tidak kekal. Dia bepergian menuju sebuah tempat, dan tempat itu adalah akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya karena tidak ada batas akhirnya. Karena itu, manusia beruntung dalam pandangan Imam Ghazali adalah yang mampu menempatkan kehidupan akhirat melebihi prioritas kehidupan dunia yang bagaikan musafir itu.
Mengenal kehidupan akhirat menjadikan manusia cinta beramal sholeh dan berbuat kebajikan serta tumbuh rasa cinta kepada Tuhannya. Imam Ghzali tidak menggunakan istilah takut, tetapi cinta kepada Tuhan. Sebab, rasa takut akan berakibat seseorang menjauh. Tetapi rasa cinta menjadikan manusia selalu ingin dekat dengan Tuhannya. Manusia yang tekun beribadah dalam pandangan Imam Ghazali berarti berkobar rasa cintanya pada sang pencipta, Allah swt. Semakin manusia cinta kepada Tuhannya, semakin dia ingin selalu dekat kepadaNya. Dan, sebaliknya.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah refleksi. Memandang potret kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini dan menggunakan nasihat Imam Ghazali sebagai tolok ukur, maka saya berkesimpulan bahwa banyak anggota masyarakat kita tidak lagi mengenal dirinya, Tuhan dan lupa bahwa kehidupan ini hanya sementara. Karena itu, mereka berlomba-lomba menumpuk harta, kekayaan, jabatan dengan berbagai cara yang tidak lagi menggunakan akal yang sesungguhnya telah mereka miliki, tetapi tidak mereka pergunakan dengan baik. Maka yang terjadi adalah kerusakan berbagai sendi kehidupan. Masyarakat menjadi resah karena tata krama dan nilai-nilai moral ditabrak. Hukum dan keadilan digadaikan. Berbohong seolah menjadi hal biasa dan tidak lagi merupakan aib. Bahkan para politisi dengan terus terang mengatakan bahwa jangan terlibat dan masuk dalam arena politik jika tidak bisa berbohong. Politisi lalu disepadankan dengan pembohong. Kalau begitu praktik politik sudah sangat jauh melenceng dari maksud awal ilmu politik.
Saya ingat filsuf Yunani kenamaan Aristoteles, yang sering disebut sebagai perintis ilmu politik. Menurut Aristoteles, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Sebab, ilmu politik mengatur bagaimana masyarakat bisa hidup tenteram, hak-haknya dilindungi, dan saling menghargai dalam sebuah tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara. Atas dasar logika tersebut, ilmu-ilmu yang lain dianggap bersifat komplementer. Tanpa bermaksud merendahkannya, keberadaan ilmu-ilmu yang lain tetap penting. Kini praktik kehidupan yang mestinya mulia menjadi petaka karena orang tidak lagi mengenal diri dan Tuhannya.
Kita belum sangat terlambat untuk segera insyaf dari berbagai kesalahan. Untuk itu, nasihat Imam Ghazali beberapa abad yang lalu masih tetap relevan kita renungkan bersama dan dijadikan pelajaran untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diberkahi Allah karena berjalan dalam rel dan aturan serta ketentuan Allah.
Langganan:
Komentar (Atom)