Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Imam Ghazali dikenal sebagai salah seorang intelektual muslim terkemuka dalam ilmu tasawuf dan filsafat, cabang ilmu pengetahuan yang lebih menekankan pada pencarian hakikat kebenaran melalui perenungan yang mendalam. Sebagaimana diketahui ada empat sarana pencarian kebenaran oleh manusia, yaitu pancaindra, perenungan mendalam (filsafat), pendekatan ilmiah (penelitian), dan agama. Kedalaman ilmu Imam Ghazali dalam dua bidang tersebut menjadikan dirinya sejajar bahkan lebih tinggi dibanding dengan filsuf-filsuf Barat di zamannya. Namanya seolah diabadikan dalam tradisi keilmuan Islam dan menjadi rujukan ilmiah, tidak saja bagi para akademisi dan intelektual muslim, tetapi juga para pengkaji ilmu pengetahuan modern yang lain.
Salah satu kelebihan Imam Ghazali dibanding dengan filsuf-filsuf yang lain adalah hikmah di balik setiap gagasannya. Malah ada yang berpendapat jika para filsuf umumnya mengedepankan kekuatan akal (reason) dalam memandang dan memahami sesuatu, maka Imam Ghazali lebih mengedepankan olah jiwa dan hikmah di balik pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan gaya berfilsafat, Imam Ghazali menyampaikan berbagai hikmah tentang kehidupan dan senantiasa mengajak manusia berbuat amal sholeh agar selamat hidup di dunia dan akhirat. Menurutnya, di balik kelebihannya, manusia sejatinya makhluk yang sangat lemah dan mudah terombang-ambing oleh hiruk pikuk dunia yang sering menipunya dan karena manusia sering dikuasi oleh nafsunya. Nafsu demikian sering menjerumuskan manusia ke liang kehancuran.
Karena itu, menurut Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat. Akal adalah fitrah pemberian manusia kepada makhluk yang disebut manusia berupa kecerdasan dan naluri insaniyah. Berbeda dengan binatang yang tidak diberi akal sehingga mereka hidup dengan cara menyesuaikan dengan keadaan lingkungan di sekitarnya, maka dengan akalnya manusia bisa menguasai alam semesta dan isinya dan membuat alam sekelilingya untuk disesuaikan dengan kepentingan dan keperluannya, bahkan seleranya. Misalnya, kontur tanah yang tidak merata dan berbukit-bukit justru menjadi sangat indah setelah diolah dengan kecerdasan teknologis untuk menjadi lahan pemukiman. Melalui akalnya pula, manusia bisa membedakan hal-hal benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tak pelak, akal menjadi penentu harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Karena itu, manusia yang dalam tindakannya tidak menggunakan akal berada dalam derajad yang sangat rendah.
Pentingnya akal bagi manusia sampai-sampai Nabi Muhammad Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Darda’: “bahwa jika ada dua orang lelaki yang sama-sama amal perbuatannya, kebaikannya, puasa dan shalatnya, maka, kata Nabi, mana di antara keduanya yang lebih baik akalnya”. Maksud hadits tersebut ialah amal sholeh seorang bisa sama dengan yang lain, tapi akalnya pasti berbeda. Perbedaan akal itu yang menentukan tinggi dan rendahnya derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, akal merupakan nikmat tersendiri bagi manusia. Karena itu sungguh sayang jika dalam hidupnya manusia tidak menggunakan dan memanfaatkan nikmat tersebut sebaik-baiknya.
Selain akal, manusia dibekali ilmu agar bisa menjalankan hidup yang bermartabat. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah seperangkat pengetahuan yang dipakai manusia untuk menempuh jalan kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi jauh dari Allah. Akal dan ilmu menjadi satu rangakaian modalitas manusia. Sebab, karena akalnya manusia bisa mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan untuk kemudahan hidupnya. dalam hal pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan, saat ini manusia telah sampai pada derajad yang sangat tinggi. Berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan menandai abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan. Namun demikian, sehebat apapun keilmuan seseorang toh belum mampu mengungkap misteri di balik semua penciptaan Allah. Perhatikan saja bagaimana para astronom selalu penasaran dengan benda-benda di ruang angkasa. Sebab, setiap ada penemuan baru selalu diikuti dengan fenomena baru yang menantang mereka untuk terus melakukan penyeledikan ilmiah. Di bidang-bidang yang lain juga terjadi fenomena yang sama.
Selain akal dan ilmu, menurut Imam Ghazali ada satu prasyarat agar manusia tidak tertipu dalam hidupnya, yaitu ma’rifat. Yang dimaksudkan dengan ma’rifat adalah kemampuan untuk mengenal empat hal: dirinya sendiri, Tuhannya, dunia, dan akhirat. Mengenal diriya sendiri artinya mengetahui apa hakikat hidup bagi dirinya, untuk apa hidup, dan bagaimana menjalankan hidup sebagai hamba Allah. Mengenal dirinya termasuk pula mengetahui kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengenal Tuhannya, sehingga dia berbakti dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang tidak menjalankan perintah Tuhan dan apalagi suka melanggar perintahnya berarti dia tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakannya.
Sedangkan mengenal dunia dan akhirat berarti mampu menjalankan roda kehidupan dengan memilih mana yang prioritas dan mana yang hanya untuk kepentingan sesaat. Imam Ghazali mengibaratkan manusia di dunia ini bagaikan musafir. Karena sebagai musafir, maka dia tidak kekal. Dia bepergian menuju sebuah tempat, dan tempat itu adalah akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya karena tidak ada batas akhirnya. Karena itu, manusia beruntung dalam pandangan Imam Ghazali adalah yang mampu menempatkan kehidupan akhirat melebihi prioritas kehidupan dunia yang bagaikan musafir itu.
Mengenal kehidupan akhirat menjadikan manusia cinta beramal sholeh dan berbuat kebajikan serta tumbuh rasa cinta kepada Tuhannya. Imam Ghzali tidak menggunakan istilah takut, tetapi cinta kepada Tuhan. Sebab, rasa takut akan berakibat seseorang menjauh. Tetapi rasa cinta menjadikan manusia selalu ingin dekat dengan Tuhannya. Manusia yang tekun beribadah dalam pandangan Imam Ghazali berarti berkobar rasa cintanya pada sang pencipta, Allah swt. Semakin manusia cinta kepada Tuhannya, semakin dia ingin selalu dekat kepadaNya. Dan, sebaliknya.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah refleksi. Memandang potret kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini dan menggunakan nasihat Imam Ghazali sebagai tolok ukur, maka saya berkesimpulan bahwa banyak anggota masyarakat kita tidak lagi mengenal dirinya, Tuhan dan lupa bahwa kehidupan ini hanya sementara. Karena itu, mereka berlomba-lomba menumpuk harta, kekayaan, jabatan dengan berbagai cara yang tidak lagi menggunakan akal yang sesungguhnya telah mereka miliki, tetapi tidak mereka pergunakan dengan baik. Maka yang terjadi adalah kerusakan berbagai sendi kehidupan. Masyarakat menjadi resah karena tata krama dan nilai-nilai moral ditabrak. Hukum dan keadilan digadaikan. Berbohong seolah menjadi hal biasa dan tidak lagi merupakan aib. Bahkan para politisi dengan terus terang mengatakan bahwa jangan terlibat dan masuk dalam arena politik jika tidak bisa berbohong. Politisi lalu disepadankan dengan pembohong. Kalau begitu praktik politik sudah sangat jauh melenceng dari maksud awal ilmu politik.
Saya ingat filsuf Yunani kenamaan Aristoteles, yang sering disebut sebagai perintis ilmu politik. Menurut Aristoteles, politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Sebab, ilmu politik mengatur bagaimana masyarakat bisa hidup tenteram, hak-haknya dilindungi, dan saling menghargai dalam sebuah tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara. Atas dasar logika tersebut, ilmu-ilmu yang lain dianggap bersifat komplementer. Tanpa bermaksud merendahkannya, keberadaan ilmu-ilmu yang lain tetap penting. Kini praktik kehidupan yang mestinya mulia menjadi petaka karena orang tidak lagi mengenal diri dan Tuhannya.
Kita belum sangat terlambat untuk segera insyaf dari berbagai kesalahan. Untuk itu, nasihat Imam Ghazali beberapa abad yang lalu masih tetap relevan kita renungkan bersama dan dijadikan pelajaran untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diberkahi Allah karena berjalan dalam rel dan aturan serta ketentuan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......