Cari Blog Ini

Kamis, 26 Mei 2011

TASAWUF

(Asal Usul dan Arti Tasawuf, Maqâmât dan Ahwâl)
Oleh: Haris Luthfi, S.HI 1
A. Pendahuluan
Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi
ruang gerak manusia. Al-Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang
menggiring manusia menuju ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua
dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat
dirasakan dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan
bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti
melalui panca indra dan organ tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses
komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci dengan jiwa Yang Maha Suci. Suatu
kebahagiaan yang luar biasa dan anugrah yang tiada tara.
Mengikat lingkaran rohani dengan Allah merupakan tujuan akhir
kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fitrah yang
diciptakan Allah disebut dengan kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan
yang hanya bersandarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu. Oleh
karena itu manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh
sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang
mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara,
yaitu maqâmât dan ahwâl. Dalam perkembangannya tasawuf mendapatkan
berbagai kendala, ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal
dari Islam itu sendiri tetapi merupakan pengaruh dari ajaran-ajarn agama lain.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dicoba memaparkan
beberapa persoalan yang berhubungan dengan asal usul tasawuf, pengertian
1 Penulis adalah Cakim PA Jambi
2
tasawuf dan maqâmât dan ahwâl yang harus dijalankan oleh seorang untuk
menjadi seorang sufi.
B. Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai
asal kata tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata ahl alsuffah,
yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah,
kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di mesjid dan
tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut
suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati mulia, tidak mementingkan
keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.2
Ada yang bependapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam
shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan mendapat
kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi
pahala. Dan ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shafa’ yang
berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihanlatihan
yang lama.3
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah merupakan asal kata tasawuf. Di
dalam transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophos ke dalam Bahasa
Arab menjadi (sin) dan bukan (shod), sebagaimana halnya kata falsafat dari
kata philosophia. Dengan demikian kata sufi ditulis dengan (sufi) dan bukan
(shufi).4 Selain itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf ( ) yang
berarti wol kasar. Kain yang terbuat dari wol kasar merupakan simbol
kesederhanaan dan kemiskinan. walaupun hidup penuh kesederhanaan dan
miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.5
2Harun Nasution, selanjutnya disebut Harun, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintangt, 1973, h.57
3Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982, h.9
4Harun, loc.cit.
5Ibid.
3
Pendapat yang paling banyak dipakai dan megacu kepada makna sufi itu
sendiri menurut para ahli adalah pendapat yang terakhir. Wol merupakan simbol
kesederhanaan yang melambangkan kehidupan para sufi itu sendiri.
Memberikan suatu definisi yang definitif terhadap tasawuf tidaklah
mudah, karena esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang sulit untuk
dijelaskan melalui bahasa lisan. Tasawuf bersifat subyektif kerena pengalaman
para sufi berbeda satu sama lain. Walupun demikian para ulama berusaha
memberikan definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya.
Tasawuf menurut Junaid al-Bagdadi (W.297 H/910 M) adalah
membersihkan hati dari sifat-sifat yang menyamai binatang, menekan sifat
basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian,
berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas
dasar keabadiannya, menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at
Rasulullah.6
Tasawuf menurut Husni adalah kesucian hati dari pencemaran
ketidakselarasan. Maksudnya bahwa seorang sufi harus menjaga hatinya dari
ketidakselarasan dengan Tuhan, karena cinta adalah keselarasan dan pencinta
hanya punya satu kewajiban di dunia, yaitu menjaga atau melaksanakan perintah
sang kekasih.7
Menurut Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup tiga
aspek, yaitu: Kha’, maksudnya takhalli, berarti mengosongkan diri dari perangai
yang tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang berarti menghiasi diri dengan akhlak
terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli, yang berarti mengalami kenyataan
ketuhanaan.8 Maksudnya Allah menampakkan dirinya kepada sufi tersebut.
Ibrahim Basuni mengkategorikan pengertian tasawuf kepada tiga hal, yaitu
al-bidâyah, al-mujâhadah, al-mudzâqah.9 Definisi berdasarkan al-bidâyah bahwa
prinsip awal tumbuhnya tasawuf sebagi manisfestasi dari kesadaran spiritual
6Taufik Abdullah (ed), selanjutnya disebut Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam;
Pemikiran dan Peradapan, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth, h.139
7Ali Ibn Usman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub (the oldest Persian Treatis on Sufism), Alih
Bahasa: Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM, Bandung: Mizan, 1994, h.47
8Taufik, loc.cit.
9Ibrahim Basuni, Nasy`ah al-Tasawuf al-Islâm, Mesir: Dâr Ma’ârif, tth, h.17
4
manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kategori ini menekankan
kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada yang Maha Mutlak,
sehingga orang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Definisi berdasarkan al-mujâhadah yaitu pengertian yang membatasi
tasawuf pada pengamalan-yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam
mendekatkan diri kepada Allah- yang didasarkan atas kesungguhan. Definisi
berdasarkan kategori al-madzâqah adalah pengertian yang cenderung membatasi
tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keagamaan, terutama dalam
mendekati zat yang mutlak.
Abu Bakr Muhammad al-Kattani memberikan pengertian yang singkat dan
padat bahwa tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian.10 Pengertian ini
mencakup dua segi, keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang.
Pertama adalah cara yaitu kejernihan hati. Cara yang dilakukan adalah melakukan
mujâhadah, menghapus sifat-sifat tercela, memutus hubungan dengan kesenangan
duniawi dan berkonsentrasi penuh ke hadirat Allah. Kedua adalah tujuan yaitu
penyaksian. Penyaksian adalah derajat ma’rifah yang paling tinggi yang
merupakan tujuan akhir bagi orang-orang yang memiliki perasan halus dan
berkepribadian mulia.
Dari beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin bahkan menunggal
dengan Allah.
C. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Pola perkembangan tasawuf tidak jarang mendapat kritikan dan kecaman
yang tajam, sehingga sering pula menimbulkan ketegangan dalam dunia
pemikiran Islam, permasalahan yang muncul adalah apakah tasawuf benar-benar
berasal dari ajaran Islam atau merupakan ajaran-ajaran agama lain yang dianut
oleh umat Islam itu sendiri?
10Abdul Halim Mahmud, selanjutnya disebut Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Alih
Bahasa Abdullah Zaky al-Kaaf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h.26
5
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai
untuk mistisisme Islam dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain.
Orang yang pertama kali memakai kata sufi adalah Abu Hasyim al-kufi di Irak
(150 H).11
Menurut Harun Nasution12 ada beberapa pendapat yang menyatakan asal
usul ajaran tasawuf, di antaranya berasal dari ajaran Budha dengan paham
nirwananya, bahwa untuk mencapai nirwana seseorang terlebih dahulu harus
meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fanâ yang terdapat
dalam sufisme hampir sama dengan paham nirwana. Dan pendapat yang
mengatakan bahwa itu berasal dari ajaran Hindunisme, yang juga mendorong
manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dan Brahman.
Ignaz Goldziher orientalis dari Austria, Asin Palacios orientalis dari
Spanyol, Alfred Von Kremer dari Jerman dan R.A. Nicholson orientalis dari
Inggris memandang bahwa tasawuf Islam berasal dari asketisme Kristen, karena
kependetaan Kristen cukup dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun
Suriah dan Sinai. Para pendeta Kristen yang berdiam di gurun-gurn itu sedikit
banyaknya telah memberikan inspirasi kepada sejumlah zahid13 muslim generasi
pertama. Di samping itu kegemaran kaum sufi dalam menghayati kehidupan
kesunyian menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen.14
Orientalis lain berpendapat bahwa tasawuf merupakan suatu bagian yang
asing dalam Islam dan berkemungkinan berasal dari pendeta-pendeta di Syam,
atau dari ajaran Plato, dari ajaran Zoroaster di Persia, dari ajaran Weda dalam
agama Hindu. Namun tidak semua orientalis ini yang konsisten dengan pendapat
11Harun, op.cit., h.56
12Ibid., h.59
13Setiap sufi adalah zahid dan tidak setiap zahid adalah sufi. Namun ada kecenderungan
disebagian kalangan manusia yang memandang bahwa tasawuf sama dengan zuhud. Ketika
mendengar kata tasawuf ia pasti memahami makna zuhud. Kata sufi diartikan sebagai zuhud
terhadap dunia dan ada juga yang memcampur adukkan antara sufi dengan abid. Ibn sina dalam
bukunya al-isyârah membedakan antara sufi, zuhud dan abid. (1) Seorang yang menjauhi
kesenangan dan kenikmatan duniawi dinamakan zahid, (2) Seorang yang menekuni ibadah-ibadah
seperti; shalat, puasa dan lai-lain dinamakan dengan abid, (3) Seseorang yang memusatkan
pikirannya pada kesucian Tuhannya dan mengharap terbitnya cahaya al-haq dalam hati dinamakan
al-arif atau al-sufi. Abdul Halim, op. cit., h.24
14Taufik, op.cit., h.143
6
mereka. Ada di antara mereka yang kemudian mengubah pendapat mereka, seperti
yang dilakukan Nicholson “Selama ini timbulnya tasawuf Islam telah dibahas
dengan cara yang salah, akibatnya banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup
dan kekuatannya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu
kerajaan Islam yang memungkinkan penafsiran pertumbuhannya dengan penfsiran
ilmiah dengan menggembalikannya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu atau
Neo-platonisme.15
Louis Masigmon16 menjelaskan pendapat Nicholson ini, sebenarnya
Nocholson menjelaskan bahwa penetapan tasawuf sebagai suatu ajaran asing
dalam Islam tidak dapat diterima adapun yang benar adalah sejak lahirnya Islam.
Ini didapati dari pendapat para sufi dan telah timbul dalam hati umat Islam itu
sendiri disaat umat Islam gemar dan tekun membaca dan mempelajari al-Qur`an
dan hadis.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam-dari
Persia, Hindu, Nasrani dan lain-lain- hanya mendasarkan pendapatnya kepada
kesamaan tipologi saja. Untuk dapat membenarkan adanya interaksi histories
antara sumber-sumber di atas dengan tasawuf, harus dapat dibuktikan secara
faktual. Jelasnya, akar histories dari tasawuf dan sumber tasawuf itu sendiri
adalah berasal dari respon umat Islam terhadap situasi dan kondisi serta ajaran
Islam itu sendiri. Tasawuf digali dari al-Qur`an dan hadis yang dikembangkan
berdasarkan kehidupan Nabi dan para sahabat. Walaupun dalam
perkembangannya terdapat unsur-unsur tertentu yang ada kemiripannya dengan
karakteristik mistisisme pada umumnya, tetapi kemiripan itu terjadi karena
berakar dari universalitas hakekat manusia. Sementara Brown17 mengomentari
kesamaan itu hanyalah pada kulit sedangkan pada isi tetap berbeda.
Pada hakikatnya timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan
kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul.
Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul
berulang kali melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira`. Di samping untuk
15Abdul Halim, op.cit., h.118
16Ibid., h.119
17Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Panjimas, 1993, h.46
7
ber-uzlah dari masyarakat yang memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga
berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari nodanoda
yang ada pada masyarakat saat itu.
Tahanuts yang dilakukan oleh Nabi tersebut bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan dan
menempuh untuk mendapat hidayah dari Pencipta alam semesta. Dengan
mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan dalam merenungkan alam yang
terbentang luas di tempat yang luas dan bebas, lebih menggugah hati Rasul untuk
merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Tahanuts ini merupakan cahaya
pertama dan utama bagi tasawuf atau benih pertama bagi kehidupan rohaniyah
yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniyah.
Segala pola tingkah laku, amal perbuatan dan sifat-sifat Rasul sebelum
diangkat menjadi Rasul merupakan manisfestasi dari kebersihan hati dan kesucian
jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.18 Prihidup Rasul tersebut
merupakan pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam pengamalan
ajaran tasawuf.
Ayat-ayat dan hadis yang menjadi sumber ajaran tasawuf dan sebagai
pendorong untuk mengikatkan dan mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya
adalah sebagai berikut:




Artinya: "Hai orang-orang yang beriman siapa yang di anatara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Ku. (al-Maidah: 54)”.
! " # $ %& ' (&
Artinya: “Allahlah yang memiliki Timur dan Barat maka kemana saja
engkau berpaling di sanalah wajah Allah (al-Baqarah: 115)”.
) * +, * - +, *
Artinya: “Dan tidaklah engkau yang melempar sewaktu engkau melempar
akan tetapi Allah yang melempar (al-Anfal: 17)”.
18Tim Penyusun, op.cit., h.37
8
+ *- . $ -/ *- , + 01 . 2 3 $ -/
4 5 6,(* < = *) 7 89 : 7 -/
Artinya: “Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku
mendekatinya sehasta, jika dia mendekat sehasta, maka Aku
mendekat sedepa, jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan
maka Aku datang kepadanya berlari (H.R.Bukhari)”.
F# 2
3G + H 6 ?7 -@ ? A? B . $ 6 2 3 C D E
I B!* J 8K I = LK 2
M = M
= *) N(9 O 8K O B 3 O LK O M O F# P
Q3
(* <
Artinya: “Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal
nawafil sehingga Aku mencintainya, apabila Aku mencintainya
jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,
matanya yang dipergunakan untuk melihat, lidahnya yang
digunakan untuk berbicara, tangannya yang digunakan untuk
menggenggam, kakinya yang digunakan untuk berjalan, dengan
Aku dia mendengar, berpikir, menggengam, dan berjalan (H.R.
Bukhari)”.
D. Maqâmât dan Ahwâl
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin
dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara
umum, terlihat adanya tiga sasaran dari tasawuf,19 yaitu; pertama tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral,. Aspek ini meliputi mewujudkan
kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu
sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral.
Tasawuf semacam ini bersifat praktis. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk
ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung (kasyf al-hijab). Tasawuf ini
bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara
19A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT.
Rajawaligrafindo Persada,1999, h. 57
9
sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana
system pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis.
Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu; dekat dalam arti
melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa
dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan arti dekat
dengan Tuhan adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi
adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dengan iradat Tuhan
Orang-orang sufi mempunyai jalan rohani-untuk mencapai tujuannyayang
menjadi tempat mereka berjalan. Thariqat (jalan) ini berdasarkan pada asas
dan petunjuk serta berpatokan kepada al-Qur`an dan Hadis. Prinsip jalan sufi ini
dinamakan al-maqâmât wa al-ahwâl.20
Maqâmât merupakan istilah kaum sufi yang menunjukan arti nilai etika
yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik melalui beberapa
tingkatan mujâhadah secara berangsur-angsur, yaitu dari suatu tingkatan prilaku
batin menuju pencapaian tingkatan (maqâm) berikutnya dengan bentuk amalan
mujâhadah tertentu. Ini merupakan pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian
yang tidak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi.
Ketika seorang yang sedang menduduki atau berjuang untuk menduduki sebuah
maqâm harus menegakkan nila-nilai yang terkandung dalam maqâm yang sedang
dikuasainya. Oleh karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyâdah
(latihan).
Maqâm merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang
berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang
menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkannya untuk
menempuh jalan menuju tingkatan kedua. Hal ini misalnya dari tingkatan taubat
menuju tingkatan wara`, dari tingkatan wara` menuju tingkatan zuhud. Demikian
jalanya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Kaum sufi berbeda di dalam merinci maqâm yang harus dilalui oleh
seorang salik untuk menuju tujuannya. Imam Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi
membicarakan maqâm pada: taubat, al-wara`, zuhud, al-faqr, al-shabr, al-ridha,
20Abdul Halim, op.cit., h.38
10
tawakal dan lain-lain.21 Menurut Abu Bakr al-Kalabi dalam bukunya al-ta’aruf li
mazhab ahl tasawuf, yaitu: taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, takwa,
tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah,. Abu Hasan al-Qusyairi membaginya kepada:
taubat, wara`, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan.22
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqâm yang
harus dilalui oleh seorang sufi. Maqâm pertama, taubat, taubat merupakan batu
pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-Nya. Taubat
adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghapus kesalahan (dosa-dosa)
sebelumnya.23 Taubat orang sufi adalah taubat dari lalai beribadah. Mereka
menganggap dosa kecil seperti dosa besar. Taubat semacam ini mempunyai syarat
sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuannya dengan satu kesiapan
yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar manusia
meninggalkan maksiat, kedua agar manusia menyesali perbuatannya dan ketiga
agar dirinya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatannya
ada kaitannya dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang di atas
dan yang keempat adalah membersihkan diri dari hak orang lain.
Maqâm kedua adalah wara`. Wara` adalah meninggalkan segala sesuatu
yang mengandung syubhat (kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim
wara` adalah kehatian-hatian dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan.24 Dalam
perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan
membuang waktu, berbuat wara` dalam perkataan bukanlah suatu yang sangat
mudah. Wara` dalam hati sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah
dalam hal-hal remeh. Wara` dalam perbuatan meliputi kewaspadaan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya harus berasal dari hasil
yang halal.
Maqâm ketiga adalah zuhud. Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu
sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi
21Ibid., h.39
22Harun, op.cit., h.62-63
23Abdul Halim, op.cit., h.55
24Ibid., h.61
11
dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud berarti mengasingkan diri dari
kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani,
memerangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasingannya dan dalam
pengembaraan. 25
Walaupun terdapat keanekaragaman penafsiran zuhud, namun tetap sama
dalam tujuan, yaitu agar manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagi tujuan
akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas
dan terkendali, jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu
dan perhatian kepada tujuan sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di
“hadirat” ilahi. Dengan demikian zuhud merupakan sikap hidup dengan
mempergunakan dunia seperlunya. Dunia hanya dijadikan sebagai jembatan untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat’ ilahi.
Maqâm keempat adalah faqr. Faqr tidak diartikan dengan hidup dalam
kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan
tetapi faqr dalam konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak
membutuhkan lebih banyak dari apa yang yang telah dimiliki, merasa puas dan
bahagia dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang
lain secara berlebihan. Sikap mental faqr ini merupakan benteng pertahanan yang
kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya sikap
rohaniyah faqr ini, maka dalam menerima atau memanfaatkan segala sesuatu
bersikap wara`.
Maqâm kelima adalah sabar. Sabar salah satu sikap mental yang
fundamental bagi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar diartikan sebagai
suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya
tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak labil walau bagaimanapun beratnya
tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah, karena
seorang sufi beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah iradah Allah
yang mengandung ujian.26
25Simun, Tasawuf dan perkembangan dalam Islam, Jakarta: PT. rajawali Pers. 1996, h.60.
Lihat: Abdul Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Irak: Dâr al-Fikr, 1966, h.
26Tim penyusun, op.cit., h.106
12
Maqâm keenam adalah tawakal. Tawakal bukan berarti menyerahkan
seluruh urusan kepada Allah tanpa dibarengi perencaan yang matang dan tanpa
usaha. Akan tetapi tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah
setelah melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal tidak bisa lepas
dari rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha dijalankan
dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, hasilnya diserahkan kepada
Allah.
Maqâm ketujuh adalah mahabbah. Harun Nasution27 mengatakan bahwa
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain; pertama memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, kedua
menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, ketiga mengosongkan hati dari
segala sesuatu kecuali dari diri yang dikasihi. Maqâm mahabbah dialami oleh
Rabi’ah al-Adawiyah. Rasa cinta kepada Allah begitu bergelora, siang malam
bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi kalbunya sehingga tidak ada ruang
walaupun kecil untuk rasa benci.
Maqâm kedelapan adalah ridha. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan
dari rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Term ini mengandung
arti menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang menimpa
dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah.
Dengan timbulnya rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan, maka
terbina pula kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat
apa saja yang diperintahkan sang kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki
Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia merasa puas terhadap pemberian dari Allah
walaupun sedikit bila dibandingkan dengan yang diterima orang lain.28
Di samping istilah maqâmât terdapat pula dalam literature tasawuf istilah
ahwâl. Maqâmât diperoleh manusia dengan usaha manusia itu sendiri yangtidak
berobah, sedangkan ahwâl tidak diperoleh dari usaha manusia tetapi merupan
anugrah Allah yang berobah Ahwâl merupakan keadaan mental yang hadir secara
otomatis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti perasaan
27Harun, op.cit., h.70
28Ibrahim Basuni, op.cit., h.139
13
senang, sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwâl yang biasa terdapat dalam
tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa, ikhlas, rasa berteman, gembira, dan
syukur29
E. Penutup
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ajaran tasawuf telah
ada dalam Islam semenjak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, bahkan
kehidupan rohani Rasul dan para sahabat menjadi salah satu panutan di dalam
melakukan amalan-amalannya. Ini merupakan sangkalan terhadap pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf merupakan produk asing yang dianut oleh umat
Islam. Tasawuf dan ajaran mistisisme agama lain hanya persamaan tipologi dan
berbeda dalam isinya.
Tujuan tertinggi dari seorang sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah atau kalau bisa menunggal dengan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut
seorang sufi harus melalui cara tersendiri atau tingkatan-tingkatan yang dikenal
dengan istilah maqâm. Di samping istilah maqâm kaum sufi juga menganal istilah
ahwâl yaitu keadaan seseorang yang merupakan anugrah Allah. Kedua-duanya
tidak dapat dipisahkan.
29Harun, op.cit., h.63

Wara’ para sufi

Wara’ para sufi


Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin AbduLlah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.

Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.

Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).

Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara’”.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.

Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.

Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.

Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”

Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).

Salah satu sikap mulia yang dimiliki Sahal bin AbduLlah disamping wara’ adalah zuhud terhadap dunia. Dalam arti umum adalah tidak mencintai sesuatu, tidak tertarik atau terpikat olehnya. Dalam kajian tasawuf, kata zuhud biasanya dikaitkan dengan kesenangan duniawi. Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik, tidak tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia itu berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya adalah lebih rendah nilainya daripada akhirat. Jadi pada sikap zuhud itu tersirat sikap lebih mencintai atau tertarik kepada akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik.

Maka zuhud sebenarnya tidak pernah muncul di dalam Al-Qur’an kecuali hanya sekali saja dalam bentuj zahidiin (QS 12, : 20). Akhirat jauh lebih baik bagi para pelaku zuhud karena kenikmatan yang jauh lebih kekal jika dibandingkan dunia.

Esensi zuhud itu juga dapat dilihat dari perikehidupan RasuluLlah SAW dan para sahabat yang hidup dengan penuh kesederhanaan baik dalam hal makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. RasuluLlah SAW sering melakukan puasa, sering mengalami lapar, menghentikann makan sebelum kenyang, setiap malam bangun untuk beribadah, melakukan munajat dan tafakur. RasuluLlah SAW tidak pernah menyimpan harta apaalgi sampai menumpuknya, dan tidak ada harta yang dapat beliau wariskan. Para sahabatpun mengikuti pola sederhana yang dicontohkan RasuluLlah SAW. Mereka meskipun sebagian tergolong berharta, tetap zuhud terhadap harta yang mereka miliki. Mereka siap menyarahkan hartanya sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau untuk jihad di jalan Allah. Hati mereka tidak tergiur oleh harta yang mereka miliki.

Zuhud dalam kajian tasawuf dipandang sebagai salah satu maqam bagi calon sufi dalam perjalanan ruhaniah mencapai tujuan menjadi sufi. Kedudukan seorang zahid setingkat di bawah sufi, dan seorang sufi pasti seorang zahid. Zahid yang berhasil menjadi sufi adalah yang telah berhasil mencapai makrifat.
Seperti yang lain, zahid juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tingkatan zuhud terhadap segala yang haram menurut norma syari’at, ada tingkatan zuhud yang lebih tinggi, yaitu zuhud terhadap hal yang diragukan kehalalannya. Zuhud yang diusahakan calon sufi adalah zuhud tingkat tertinggi yaitu zuhud terhadap dunia materi dan apa yang dibutuhkan oleh jasmani meskipun halal menurut norma syari’at. Hanya saja tingkat tersebut dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tulus serta kecintaan yang tinggi kepada Allah SWT.



Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin AbduLlah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.

Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.

Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).

Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara’”.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.

Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.

Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.

Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”

Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).

Salah satu sikap mulia yang dimiliki Sahal bin AbduLlah disamping wara’ adalah zuhud terhadap dunia. Dalam arti umum adalah tidak mencintai sesuatu, tidak tertarik atau terpikat olehnya. Dalam kajian tasawuf, kata zuhud biasanya dikaitkan dengan kesenangan duniawi. Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik, tidak tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia itu berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya adalah lebih rendah nilainya daripada akhirat. Jadi pada sikap zuhud itu tersirat sikap lebih mencintai atau tertarik kepada akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik.

Maka zuhud sebenarnya tidak pernah muncul di dalam Al-Qur’an kecuali hanya sekali saja dalam bentuj zahidiin (QS 12, : 20). Akhirat jauh lebih baik bagi para pelaku zuhud karena kenikmatan yang jauh lebih kekal jika dibandingkan dunia.

Esensi zuhud itu juga dapat dilihat dari perikehidupan RasuluLlah SAW dan para sahabat yang hidup dengan penuh kesederhanaan baik dalam hal makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. RasuluLlah SAW sering melakukan puasa, sering mengalami lapar, menghentikann makan sebelum kenyang, setiap malam bangun untuk beribadah, melakukan munajat dan tafakur. RasuluLlah SAW tidak pernah menyimpan harta apaalgi sampai menumpuknya, dan tidak ada harta yang dapat beliau wariskan. Para sahabatpun mengikuti pola sederhana yang dicontohkan RasuluLlah SAW. Mereka meskipun sebagian tergolong berharta, tetap zuhud terhadap harta yang mereka miliki. Mereka siap menyarahkan hartanya sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau untuk jihad di jalan Allah. Hati mereka tidak tergiur oleh harta yang mereka miliki.

Zuhud dalam kajian tasawuf dipandang sebagai salah satu maqam bagi calon sufi dalam perjalanan ruhaniah mencapai tujuan menjadi sufi. Kedudukan seorang zahid setingkat di bawah sufi, dan seorang sufi pasti seorang zahid. Zahid yang berhasil menjadi sufi adalah yang telah berhasil mencapai makrifat.
Seperti yang lain, zahid juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tingkatan zuhud terhadap segala yang haram menurut norma syari’at, ada tingkatan zuhud yang lebih tinggi, yaitu zuhud terhadap hal yang diragukan kehalalannya. Zuhud yang diusahakan calon sufi adalah zuhud tingkat tertinggi yaitu zuhud terhadap dunia materi dan apa yang dibutuhkan oleh jasmani meskipun halal menurut norma syari’at. Hanya saja tingkat tersebut dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tulus serta kecintaan yang tinggi kepada Allah SWT.

Rabu, 25 Mei 2011

MACAM MACAM ZDIKIR:LAFADZ-LAFADZ DZIKIR DAN KEUNGGULANNYA

07:51 Santriwan Mlangi Yogyakarta Indonesia

Lafadz-lafadz dzikir itu sanyak banyak, diantaranya : Tasbih, Tahmid, Tahlil, Takbir, Tamjid, Sholawat, dll. Akan tetapi diantara lafadz-lafadz dzikir yang disebut diatas tadi adalah yang paling utama. Menurut Sabda Rasulullah SAW, yaitu kalimat Laa ilaaha illallaah, sebagaimana keterangan Hadits : "YAng paling utama apa yang aku ucapkan dan apa yang diucapkan Nabi-nabi sebelumku, yaitu Laa ilaaha llallaah".(Al-Hadits).


Malahan ada Hadits yang menerangkan keunggulan kalimah itu, Sabda Rasulullah SAW : Jika ditimbangkan tujuh petala langit dalam satu daun timbangan, dan kalimat Laa ilaaha illallaah dalam satu timbangan yang lainnya, maka akan lebih berat kalimat Laa ilaaha illallaah". Kesimpulan Hadits-hadits tersebut diatas, diantaranya para Ulama' memperbanyak Wirid untuk menambah dan memperkuat iman sebagaimana sabda Nabi SAW : "Perbaharuilah iman kamu! Para sahabat bertanya: Bagaimana kami memperbaharui Iman kami ya Rasulullah ? Jawab Nabi : Dengan memperbanyak ucapan Laa ilaaha illallaah".(Al-HAdits). Apa sebabnya Nabi SAW memerintakan harus memperbanyak membaca kaliamah Laa ilaaha illallaah...... ? Karena iman itu menurut ulama' terbagi dalam Lima bagian : 1. Iman Mathbu(Iman para Malaikat).Iman ini tidak pernah berkurang, juga tidak pernah bertambah, tegasnya, Iman para Malaikat sudah ditetapkan. 2. Iman Ma'sum(Iman para Nabi). Iman ini kadang-kadang bertambah apa bila datang Wahyu, namun tidak pernah berkurang,tegasnya dihindarkan dari kekurangan. 3. Iman Makbul(Iman Orang-orang Muslimin-muslimat). Iman ini kadang-kadang bertambah apa bila mengerjakan tho'at, Berkurang apa bila mengerjakan ma'siat. tegasnya akan diteima apa bila mengerjakan tho'at kepada Allah. 3. Iman Maohuf(Imannya ahli Bid'ah). Tegasnya ditangguhkan. Apa bila ahli Bid'ah itu berhenti dari mengerjakan Bid'ah nya, imannya akan diterima oleh Allah SWT. Ahli Bid'ah itu diantaranya : Kaum Rofidhah atau Dukun, Ahli sihir dll. 5. Iman Mardud(Ditolak Imannya). Tidak diterima olah Allah SWT seperti Imannya orang-orang musyrik, murtad, kafir, dll. Menurut Hadits tadi jelas bahwa apa bila ingin kuat iman, memparbanyak kalimat tadi(Laa ilaaha illallaah).

Membaca kalimah Laa ilaaha illallaah menurut ahli fiqih dalam sehari semalam tidak boleh kurang dari 13 kali. Tetapi menurut ahli Tasawwuf, tidak boleh kurang dari 1.200 kali, malah lebih banyak makin bertambah pahalanya. Didalm Hadits dijelaskan keunggulan/khasiatnya kalimah itu : "Barang siapa mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallaah serta dipanjangkan dengan maksud mengagungkan, maka dihancurkan baginya empat ribu dosa besar'(Al-Hadits). Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengsn ikhlas dan bersih hatinya, pasti ia masuk Syurga"(Al-Hadits). Kalimah Laa ilaaha illallaah adalah Benteng Kami. Barang siapa yang masuk kedalam benteng itu tentu akan diselamatkan dari siksa kami(Al-Hadits). Sahabat bertanya kepada Nabi SAW : Kalau Syurga itu untuk siapa Ya Rasulullah....? Jawab Rasulullah: Itu diperuntukkan bagi ahli Laa ilaaha illallaah. Kalu neraka ....? Jawab Rasulullah : itu untuk yang tidak pernah membaca Laa ilaaha illallaah. Siapa saja manusia yang ucapan terakhirnya (pada Sakaratil Maut) membaca kalimah Laa ilaaha illallaah, maka orang itu akan masuk kedalam Syurga.

Agar manusia selamat dan jadi ahli Syurga, Rasulullah SAW bersabda : "Talqinlah oleh kamu orang-orang yang akan mati dengan kalimah Laa ilaaha illallaah". Dengan Hadits ini, jelas bahwa yang harus diajari mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallaah, adalah orang "yang akan mati", bukan hanya kepada yang sedang menghadapi sakaratil maut, karena bukankah orang yang sehat wal'afiat juga akan mati? Dari pada kita menunggu sampai sudah sekarat, alangkah baiknya kalau mulaindari sekarang, selagi kita masih sehat dan mampu, karena apabila kita sudah jatuh sakit, yang kadang-kadang sampai tidak bisa makan/minum, apalagi diajari dzikir, yang apa bila didalam hatinya tidak ada iman, tidak menyenangi dzikir dari sejak sekarang(berlatih dari sekarang), secara syari'at tentu akan sulit. Kalau sakaratil maut sudah datang ,mata melotot sudah tidak bisa lagi melihat, telinga sudah tidak dapat mendengar lagi, mulut sudah tidak dapat berkata-kata lagi, kemauan dan kesanggupan sudah hilang sama sekali. Yang masih ada adalah Ilmu dan Hayat. tanpa berlatih dari sejak sekarang untuk berdzikir Laa ilaaha illallaah dalam sa'atnya akan dilaksanakan (dalam sakaratil maut)sangat kecil kemungkinannya akan mampu. seperti Tentara yang memegang senjata yang ampuh,kalau tanpa latihan, tentu akan kikuk dan kaku dalam medan pertempuran karena tidak pernah berlatih dahulu.

Pada saat nyawa akan keluar dari jasad kita,mula-mula dari ujung ibu jari kaki, menjalar sampai kelutut, naik lagi sampai ke pusar, terus ke jantung, punggung, ke hati, ke dada langsung ke tengggorokan, ke otak ...... barulah lepas..... Pada waktu ruh keluar lepas dari otak, apa bila tidak dibarengi dengan dzikir pada Allah SWT dikhawatirkan kita akan mati dalam keadaan "su'ul Khotimah". Namun apa bila kita sudah terbiasa latihan dzikir mulai dari sekarang, sehingga dzikir itu menyerap kesekujur tubuh, Insya Allah ruh kita akan keluar dibarengi dengan dzikir kepada Allah. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an : "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam jama'ah hamba-hamba-Ku dan masuklah kedalam Syurga-Ku"(QS.89 Al-Fajr 27-30).
Orang yang sakaratulmaut biasanya mengucapkan apa yang dia ucapkan ketika sehat jika ketika hidupnya tidak biasa mengucapkan kalimah toyyibah atau menyebut asma Alloh ,maka orang tersebut juga akan kesulitan mengucapkan kalimah toyyibah atau menyebut asma Alloh

Santriwan Mlangi Yogyakarta Indonesia khotbah

Santriwan Mlangi Yogyakarta Indonesia

05/05/2011 13:16
Enam Pertanyaan Al-Ghazali

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى فى القرأن العظيم كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ الله العلي العظيم



Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Pada kesempatan khutbah kali ini, pertama-tama saya mengajak pribadi saya sendiri dan kaum muslimin umumnya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Hanya dengan taqwalah bekal yang untuk menghadap-Nya nanti. Fainna khairaz zadit taqwa. Jangan ragukan janji Allah, bahwa ia hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya bukan dari sisi lainnya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Dalam khutbah kali ini saya hendak mengisahkan sebuah cerita diskusi antara Imam Al-Ghozali dengan muridnya. Ada enam pertanyaan yang dilontarkan beliau kepada para muridnya, dan kesemuanya sangat bagus untuk kita simak niali-nilai yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya.
Wahai murid-muridku sekalian, coba kalian jawab "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI".

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayaka (Ali Imran 185)

Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang. Karena itu manusia harus selalu bersiap diri menghadapinya. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya. Janganlah kita lengah dalam memahami hal ini, jangan sekali-kali merasa diri jauh dari mati, karena itu membuat kita besar hati. Justru kerahasiaannya harus kita maknai bahwa mati bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa adanya peringatan dari-Nya. Inilah yang hendak disampaikan oleh Al-Ghazali kepada murid-muridnya.

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ini tepat dengan sebuah hadits yang menganjurkan bahwa kehidupan kita hari ini harus jauh lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika difikir lebih dalam, maka yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kali, sekali kita bertindak kesalahan kita tidak bisa merevisinya lagi. Paling banter kita hanya bisa bertobat dan berharap pengampunan. Sebagian pepatah bilang waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Emas, harta bisa dicari tapi waktu yang sudah berlalu tak mungkin hadir kembali.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada di genggaman-Nya. Kita sebagai hamba hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah swt memberikan anugrah kepada kita agar mampu memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU"

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179) (Al A'Raf 179).

Nafsu adalah hal penentu pada diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki? Kendalikanlah nafsumu, ingin celaka selamanya? Turuti nafsumu... pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan tersembunyi dari al-Ghazali bahwa nafsu adalah hal paling besar, hal yang paling menentukan....

Kemudian al-Ghazali meneruskan pada Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Murid-murid Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH"

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72) (Al Ahzab 72).

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Jama’ah yang dimuliakan Allah
Pertanyaan Imam al-Ghazali yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Kita harus ingat bahwa sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah kewajiban terpenting di dunia ini. Namun anenya, meski demikian sholat adalah hal termudah yang sering dilewatkan oleh orang-orang muslim? Ringan sekali mlewatinya.

Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Ingatlah sebuah hadits yang menerangkan:


المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
seorang muslim adalah orang bisa menjaga orang muslim lainnya dari lisannya dan tangannya.

Khirnya, di penghujung khotbah ini saya mengajak diri saya dan jama’ah sekalian bila ada waktu sering-seringlah merenung bahwa mati akan segera menjemput kita, insyaallah diri kita akan termotifasi untuk mengendalikan nafsu, menjalankan sholat, menjaga lidah dan memegang amanah.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

20/04/2011 11:51
Meluruskan Makna Jihad

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أخْرَجَ نَتَائِجَ أفْكاَرِنَا لِإِبْرَازِ أَيَاتِ
وَالَّذِيْ أفْضَلَنَا بِالْعِلْمِ وَاْلعَمَلِ عَلَى سَائِرِ مَخْلُوْقَاتِهِ ، أَشْهَدُ أنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ يُمْلَئُ بِجَمِيْعِ اْلفَضَائِلِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ وَعِتْرَتِهِ الطَّاهِرِيْنَ إلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ : كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيها الناس إن دمائكم وأموالكم وعرضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا, فى بلدكم هذا

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah...
Marilah kita meningkatkan nilai ketaqwaan kita kepada Allah swt. Hendaklah kita menyadari bahwa Allah swt melihat manusia hanya dari ketaqwaannya, bukan kepahlawanannya, bukan keangkuhannya bukan pula keberaniannya menjadi bomber dan martir. Sama sekali itu tidak menjamin ketaqwaan seseorang di mata Allah swt.

Jama’ah yang dirahmati Allah...
Ledakan bom di masjid Maplresta Citrebon minggu ini menyisakan pertanyaan besar bagi masyarakat dunia, benarkah Islam mengandung rahmatan lil-alamin, mana buktinya? masihkah Islam menjadi agama yang penuh berkah terhadap alam semesta? Bukankah kejadian itu menjadi pertanda bahwa dalam ajaran Islam terdapat terorisme?

Prinsip dasar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. adalah penyempurnaan etika manusia (li-itmam makarim al-akhlaq). Sehingga keberadaan agama Islam adalah untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai dan sejahtera. Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah. Artinya, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antar sesama manusia). Tentunya, dalam persoalan fundamentalisme, radikalisme, maupun terorisme, Islam mempunyai pandangan dan sikap yang jelas dan juga tegas.

fundamentalisme bahasa Arabnya ialah “al-ushuliyyah”, berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”. “muslim fundamental” berarti seorang muslim yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjamaah, menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.

Sedangkan “radikalisme” bahasa Arabnya adalah “syiddah al-tanatu’”. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam serta bersifat ekslusif dalam memandang agama-agama lainnya.

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah...
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fai’ atau harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamim melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!”. Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah!” Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamamd Saw bersabda,

سيكون بعدي من أمتي قوم يقرؤن القرأن لايجاوز حلقمهم هم شر الخلق والخليقة
(Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca al-Quran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).

Hadis sahih di atas kemudian terbukti setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij. Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah. Soalnya, bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin “laa hukma illa Allah”, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil”.

Maka gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini mempunyai sejarahnya, mereka terpengaruh pada pola-pola Khawarij di masa periode awal sejarah umat Islam. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan kalangan non-muslim. Umat Islam pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman mereka atas agama Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yang “sathiyyah” (setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.

Dengan demikian, para hadirin Jama’ah Jum’ah
Kita patut prihatin atas stigmatisasi umat Islam akhir-akhir ini. Hanya karena perbuatan segelintir umat Islam yang sangat dangkal pemahamannya atas ajaran agama, umat Islam secara keseluruhan terkena dampaknya. Umat Islam tidaklah dalam posisi vis-à-vis dengan non-muslim. Umat Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat plural dengan damai. Seperti dicontohkan Rasulullah Saw. saat melihat seorang Yahudi yang dibunuh orang Islam secara zalim. Saat itu beliau bereaksi dengan keras: “Man-qatala dzimmiyan fa ana khasmuh” (Barangsiapa yang membunuh non-Muslim, maka ia akan berhadapan langsung dengan saya). Pola hidup berdampingan seperti inilah yang perlu ditiru umat Islam. Pelaksanaan amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada nahy ‘anil munkar (melarang berbuat kemungkaran).

Ini misalnya yang ditunjukkan oleh para sahabat Nabi. Khalifah Umar ibn al-Khattab pernah tidak menghukum pencuri di saat musim paceklik dan masa kelaparan. Dari sini sebuah kaidah agama muncul, yang menyebutkan, “Man kana amruhu ma’rufan, fal yakun bil-ma’ruf. Artinya, siapa yang memerintahkan kebaikan, maka haruslah dengan cara yang baik pula.

Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia...
Lalu, Bagaimana dengan ajaran tentang jihad yang sering dijadikan alasan radikalisme dalam Islam?
Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail. Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Kemudian dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam.

Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia...
Term “jihad” dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”. Karena itu, jika kita membincangkan “jihad” paling tidak ada dua terma lain yang memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yang memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.

Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihad”, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yang selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dengan bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.

Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dengan mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, jika tidak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.

Para hadirin Jama’ah Jum’ah Rohimakumulla...
Ingatlah sejarah bangsa kita, dari keempat model jihad tersebut, Rais Akbar NU, Hadlratus-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang pernah menterjemahkan makna “jihad” secara kontekstual di bumi Indonesia. Tatkala serdadu sekutu yang dipelopori Inggris datang di Surabaya pada bulan November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yang dimaksud Hadlratus-Syaikh sama sekali tidak dimaksudkan membela ‘agama” an-sich, tetapi guna membela tanah air yang disitu melindungi semua komunitas, baik muslim, kristen, hindu, budha, konghuchu, aliran kepercayaan maupun lainnya.

Hal yang menarik dan perlu dicermati adalah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut -- sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik:
1. al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2. al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3. al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4. Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5. Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini adalah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini jika benar-benar realisasinya akan melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam.

Jama’ah Jum’ah yang Mulia..
Akhirnya, kita memang harus benar-benar memahami makna “jihad”. Jihad merupakan upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Berperang dengan angkat senjata hanyalah salah satu dari ribuan macam mode jihad, itupun disertai persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat dan syar’i dalam berperang.


بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

02/03/2011 18:02
Mari Bersama Membangun Moral Bangsa

Moh. Sofwan Al-Hafidz
(Pengurus MWC NU Tanjung Priok)

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى "ياأيهاالذين أمنوا اتقوالله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون" وقال النبي صلى الله عليه وسلم: اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحوها وخالق الناس بخلق حسن. صدق الله العلي العظيم وصدق رسوله النبي الحبيب الكريم, والحمد لله رب العالمين.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah
Marilah kita meningkatkan taqwa kita kepada Allah swt. semoga setiap perilaku kita senantiasa dalam kontrol yang Maha Kuasa, sehingga kita semua terhindar dari berbagai godaan yang menyesatkan kita dari tuntunan agama-Nya. Tidak hanya godaan dosa besar, tetapi juga godaan yang menggoyahkan kepribadian kita sebagai sorang muslim yang bertaqwa.

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia
Kita semua mengerti dan faham bahwa moralitas merupakan pranata yang paling utama dalam menata masyarakat dan bangsa. Berbagai centeng-preneng kasus yang terjadi di negeri ini, mulai dari problema sosial, ekonomi, kultural, budaya maupun agama ternyata tak bisa dipahami secara tehnis-mekanis belaka. Sudah berapa banyak seminar diadakan sudah seberapa sering pelatihan dilaksanakan, dan sudah tak berbilang khutbah-khutbah diperdengarkan. Seolah semuanya seperti angin lalu. Tak ada imbas dan manfaatnya. Karena sesungguhnya seruan itu dianggap formalitas belaka. Inilah tanda-tanda kemerosotan budi di negeri ini. Semua orang saling menilai dan mencurigai, hampir tidak ada orang yang bisa dianggap baik, bahkan orang tua dikritik, ulama dicaci, pemerintah didemo apalagi teman sebaya, hampir tak ada harga. Lantas siapa yang hendak di dengar. Bukankan Allah swt berfirman dalam surat al-‘Ashr,

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi waktu, Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.

Jika nasehat-nasehat tak dianggap, Apa gerangan yang terjadi? Bukankah ini menunjukkan kemerosotan akhlaq yang paling mengerikan?

Jam’ah Jum’ah rahimakumullah
Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama dan sebagainya. Dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-akhlaq atau al-adab. Al-Akhlaq merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq”, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata yang disebutkan hanya dua kali dalam al-Quran pertama dalam al-Syu’ara 137 yang berbunyi:

إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Yang artinya:
(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu

dan yang kedua dalam surat al-Qalam 4;
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Yang artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung

pada mulanya kata khuluq ini diproyeksikan sebagai sandingan kata “al-khalq” yaitu ciptaan. Sungguhpun berasal dari akar kata yang sama (kh-l-q), kedua istilah tersebut memiliki arti yang bertolak belakang. Al-Khuluq merupakan karakteristik ketuhanan yang bersifat immateri dan permanen. Sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Meniadakan salah satunya berarti akan memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan al-kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, format ciptaan Tuhan yang terbaik, baru bisa terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah
Kita semua tahu bahwa selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan (al-khuluq), dalam diri kita juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan. Setiap saat terjadi tarik menarik antara keduanya. Jika kemenangan dipihak nafsu, manusia akan turun derajad dan moralnya. Sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajadnya, moralnya terpuji dan melebihi makhluk Tuhan lainnya.
Manusia yang terakhir inilah yang layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fi al-ardhi) untuk mengelola alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia seisinya ini diurus oleh tangan-tangan manusia yang bermoral rendah, yang tak mampu menyeimbangkan antara format al-khuluq dan al-khalq, pastilah-cepat atau lambat-kehancuran dan kebinasaan akan menimpa dunia. Kisah Qabil, Namrud, Fir’aun, Qarun, kafir Quraisy, dan sebagainya adalah sebagian tamsil manusia yang menyalahi karakter Ilahiyah dalam mengimplementasikan diri sebagai wakil Tuhan di bumi.
Moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengamalan bukan hafalan, kenyataan bukan penataran, esensi bukan teori, realitas bukan identitas, dan seterusnya. Eksistensinya tidak bisa dibuat-buat, dipalsukan maupun sekedar simbolik. Canggihnya teori, banyaknya ajaran, tingginya kedudukan dan jabatan, indahnya paras wajah, melimpahnya harta bukanlah jaminan akan baiknya moral seseorang. Tidak mustahil, orang yang miskin justru lebih bermoral ketimbang mereka yang berduit, rakyat jelata lebih bermoral ketimbang pejabat.
Moralitas yang luhur merupakan karakteristik ketuhanan yang melekat pada diri manusia dan bersifat universal, kekal dan esensial. Allah swt. akan memilih diantara hamba-hamba-Nya yang taat untuk menampakkan karakteristik tersebut. Perbedaan ras, golongan, suku bangsa, bahasa, negara bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi realisasi moralitas mulia. Eksistensinya bersifat lintas etnis, lintas agama, budaya dan bahasa.
Tidaklah musykil, seseorang yang secara formal mengaku sebagai penganut agama tertentu, hafal kitab sucinya, faham norma-normanya, tapi praktiknya justru bertolak belakang. Malah orang yang tak mengaku beragama secara formal, justru lebih bermoral. Na’udzubillahi min dzalik.

Jama’ah Jum’ah yang disayangi Allah
Marilah kita bersama-sama saling mengingatkan, bahwa dunia ini hanyalah sementara. Akhirat menenti kita selamanya. Hendaknya kita perkuat posisi hati nurani kita dengan berpegang kepada ajaran Islam. Jika secara pribadi kita lemah memahami Islam, marilah kita dengarkan pengajian para ustadz dan kyai. Siapapun mereka, dari manapun organisasinya, jikalau memang yang diucapkan bermanfaat bagi diri kita, alangkah baiknya kita ambil suritauladannya. Tidak perlu kita memagari diri dengan mencoba melihat detail siapa yang berbicara bukankah dia adalah mantan ketua partai A. Atau dulu kan dia direktur Perusahaan B. Siapapun yang berbicara jika isi dan kandungan informasinya berguna hendaklah kita hormati dan pelajari. Seperti kata pepatah arab Undzur maqal wa la tandhur man qal. Perhatikan isinya, jangan lihat siapa yang berbicara.

Para hadirin Jam’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah
Marilah di akhir khutbah ini kita sama-sama merenung, sudah tepatkah sikap kita selama ini sebagai seorang muslim yang berada di tengah-tengah negara yang semakin menunjukkan kemerosotan etika ini. Yakinkah bahwa kita tidak ikut menurunkan moralitas bangsa ini. Benarkah kita sudah berusaha menjadi bagian yang tersadarkan? Marilah kita mulai dari diri sendiri. Dari hal yang paling terkecil, kita kurangi berprasangka buruk terhadap orang lain. Apalagi sesama muslim.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

17/03/2011 14:56
Isitqomah Sebagai Konsep Diri dalam Membentuk Karakter Seorang Muslim
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA
(Mustasyar PBNU)


الحمد لله الذى أمرنا بالعدل والاحسان, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذى بصرنا من العمى وهدانا من الضلال. اللهم صل وسلم وبارك على رسول الله محمد ابن عبدالله وعلى اله واصحابه ومن تبعه باحسان الى يوم القيامة. أما بعد فياعبادالله أوصيكم واياي بتقوى الله وطاعته وافعلوا الخيرات واجتنبوا السيئات لعلكم تفلحون. قال الله تعالى فى القرأن العظيم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ان الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة الا تخافوا ولاتحزنوا وابشروا بالجنة التي كنتم توعدون

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sembari bersila, duduk istiqamah di masjid ini, mari kita bersama-sama mendekatkan diri, menyatukan nurani kita dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala yang melidungi dan membimbing hidup kita. Upaya mendekatkan dan menyatukan diri merupakan sesuatu yang niscaya bagi kita selaku hamba-Nya dan sebagai manifestasi ketundukan dan kepatuhan kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Pada kesempatan kali ini, khatib ingin mengangkat tema tentang istiqomah sebagai konsep diri membentuk karakter seorang muslim.

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sebagai agama samawi, Islam memadukan antara dimensi esoterik (‘aqidah) di satu sisi, dan dimensi eksoterik (syari’ah) di sisi yang lain. Dimensi eksoterik ajaran Islam memuat ajaran paling fundamental yang menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, pemaknaan atas iman secara benar dan istiqomah dimaksud untuk mestimulasi rasa spiritualisme keagamaan yang paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Istiqomah berasal dari kata Qawama yang berarti tegak lurus. Kata istiqomah selalu dipahami sebagai sikap teguh dalam pendirian, konsekuen, tidak condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan tetap berjalan pada garis lurus yang telah diyakini kebenarannya.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Istiqomah adalah konsistensi, ketabahan, kemenangan, keperwiraan dan kejayaan di medan pertarungan antara ketaatan, hawa nafsu dan keinginan. Oleh karena itu mereka yang beristiqomah layak untuk dapat penghormatan berupa penurunan malaikat kepada mereka dalam kehidupan di dunia untuk membuang perasaan takut dan sedih dan memberi kabar gembira kepada mereka dengan kenikmatan surga. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣۰﴾٣۰
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (al-Fussilat:30).

Sikap istiqomah juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw sebagai identitas keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قلت يارسول الله قل لى فى الاسلام قولا لا أسأل عنه أحدا غيرك قال قل أمنت بالله فاستقم (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi r.a berkata: Aku berkata Wahai Rasulullah...! katakanlah satu perkataan padaku tentang islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada orang lain. Sabda Rasullah saw: “ucapkanlah aku beriman dengan Allah kemudian beristiqomahlah kamu” (HR. Muslim)
Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Hadits di atas menjelaskan bahwa sikap istiqomah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana seorang muslim secara terus menerus dan konsisten berpegang teguh dalam beriman kepada Allah. Istiqomah itu sendiri dapat memberikan efek positif yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim dalam membentuk citra dirinya.
Citra diri (self image) atau konsep diri (self concept) adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Walaupun citra diri mempunyai subyektivitas yang tinggi, tetapi hal itu merupakan salah satu unsur penting dalam proses pengembangan pribadi. Citra diri yang positif akan mewarnai pola sikap, cara pikir, corak penghayatan, dan ragam perbuatan yang positif juga, demikian pula sebliknya. Seseorang yang memandang dirinya cerdas misalnya, akan bersikap berfikir, merasakan dan melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya cerdas (sekalipun orang-orang lain mungkin menganggapnya berlagak pintar)
Sesuai dengan citra diri yang disebutkan, maka yang dimaksud dengan citra diri muslim adalah gambaran seorang mengenai dirinya sendiri, dalam artian sejauh mana ia menilai sendiri kualitas kemusliman, keimanan, dan kemuhsinannya berdasarkan tolak ukur ajaran Islam. Peneliaian ini benar-benar tidak mudah dan mengandung subjektivitas yang tinggi, tetapi hal ini dalam ajaran Islam sangat dianjurkan mengingat setiap muslim wajib melakukan muhasabah (evaluasi diri), menghisab dirinya sebelum ia dihisab di hari akhir.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangka mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektif ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Salah satu kegiatan pribadi adalah ‘menemukan makna hidup’ yang kiranya dapat dimodifikasi untuk merancang program pelatihan ‘menuju kepribadian muslim. Pelatihan menemukan makna hidup ini didasari oleh prinsip-prinsip panca sadar yakni: Pertama sadar akan citra diri yang diidam-idamkan. Kedua sadar akan kelemahan dan keunggulan diri sendiri. Ketiga sadar akan unsur-unsur yang menunjang dan menghambat dari lingkungan sekitar. Keempat sadar akan pendekatan dan metode penghambatan pribadi. Dan kelima sadar akan tokoh idaman dan panutan akan suri tauladan.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Kesimpulan dari khutbah kali ini adalah bahwa seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya dan citra dirinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangja mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Posted in: khutbah

Masa Hidup-Meninggalnya Imam Al- Ghazali I biography/

biografi Imam Al- Ghazali
Disini saya akan menceritakan sedikit tentang biografi Imam Al- Ghazali, dari masa kecil hingga wafat,!! langsung saja tentang Imam Al- Ghazali

A. Masa Hidup Imam Al- Ghazali .
1. Tempat Kelahiran Imam Al- Ghazali .

Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.

Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan. Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dikemudian beliau menjelma menjadi seorang ‘ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450-456)

2. Pendidikan dan Perjalanan Mencari Ilmu Perjalanan imam Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya.

Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika beliau tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari pokok islam (al-qur’an dan sunnah nabi).Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain :
a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi
b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi
c. Maulid An Nabi, beliau belajar pada dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani
d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asai.
Begitu pula diantarnya bidang-bidang ilmu yang di kuasai imam al-Ghazli (ushul al din) ushul fiqh, mantiq, flsafat, dan tasawuf Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada imam Kharamain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah, dan falsafah, imam Kharamain menyikapinya sebagai lautan yang luas. Setelah imam kharamain wafat kemudian beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab kitab al-basith, al- wasith, al-wajiz, dan al- khulashoh. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, kitab al- mankhul, bidayatul hidayah, al-ma’lud filkhilafiyah, syifaal alil fi bayani masa ilit dan kitab-kitab lain dalam berbagai fan. Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya. Walaupun kemashuran telah diraih imam al Ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan imam al Ghazali kepada Nidzham Al Mulk, perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah, Nidzham adalah pendiri madrasah al nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w.477 H/1084 M). Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenengkan ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluadan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan salam bukunya al mungkiz min dahalal. Selama megajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghozali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti al maqasid falsafah tuhaful al falasiyah. Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, imam al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah nidzhamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, selam kira-kira dua tahun imam al Ghazali di kota Damaskus beliau melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian beliau pihdah ke Bait al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Sektelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom Rosulullah Saw. Sepulang dari tanah suci, imam al Ghazali mengunjungi kota kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal ” ihya’ ‘ulumuddin al-din” the revival of the religious ( menghidupkan kembali ilmu agama). Karena disebabkan desakan pada madrasah nidzhamiyah di Naisabur tetapi berselang selam dua tahun. Kemudian beliau madrasah bagi para fuqoha dan jawiyah atau khanaqoh untuk para mustafifah. Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun 505 H / 1 desember 1111 M. Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al asabat ‘inda amanat mengatakn, Ahmad saudaranya imam al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata : Ambillah kain kafan untukku kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan diatas kedua matanya, beliau berkata ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam al Ghazali yag bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus. B. Guru dan Panutan Imam Al Ghazali Imam al Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai banyak guru, diantaranya guru-guru imam Al Ghazali sebagai berikut :
1. Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah Al Hafsi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab shohih bukhori.
2. Abul Fath Al Hakimi At Thusi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab sunan abi daud.
3. Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al Khawari, beliau mengajar imam Ghazali dengan kitab maulid an nabi.
4. Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asi, beliau mengajar imam Al Ghazali dengan kitab shohih Bukhori dan shohih Muslim. Dengan demikian guru-guru imam Al Ghazali tidak hanya mengajar dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan kebanyakan guru-guru beliau dalam bidang hadist.

C. Murid-Murid Imam Al Ghazali Imam Al Ghazali mempunyai banyak murid, karena beliau mengajar di madrasah nidzhamiyah di Naisabur, diantara murid-murid beliau adalah :
1. Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al- Syebbak Al Jurjani (w.513 H).
2. Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H), semula beliau bermadzhab Hambali, kemudian setelah beliau belajar kepada imam Ghazali, beliau bermadzhab Syafi’i. Diantara karya-karya beliau al ausath, al wajiz, dan al wushul.
3. Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali. Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali.
4. Abu Hasan Al Jamal Al Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad Assalami (w.541 H). Karyanya ahkam al khanatsi.
5. Abu Mansur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali sehingga menjadi ‘ulama besar di Baghdad.
6. Abu Al Hasan Sa’ad Al Khaer Bin Muhammad Bin Sahl Al Anshari Al Maghribi Al Andalusi (w.541 H). beliau belajar fiqh pada imam Ghozali di Baghdad.
7. Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansur Al Naisabur (476-584 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali, diantara karya-karya beliau adalah al mukhit fi sarh al wasith fi masail, al khilaf.
8. Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali. Diantar karya-karya beliau adalah minhaj al tauhid dan tahrim al ghibah. Dengan demikian imam al ghozali memiliki banyak murid. Diantara murid–murid beliau kebanyakan belajar fiqh. Bahkan diantara murid- murid beliau menjadi ulama besar dan pandai mengarang kitab.

D. Karya-Karya Imam Al Ghazali Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :
1. Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah.
2. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.
3. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
4. Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.
5. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
6. Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional)
7. Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
8. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).
9. Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).
10. Ayyuha al walad. 11. Al musytasyfa
12. Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam.
13. Mizan al amal.
14. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan).
15. Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama).
16. Al washit (yang pertengahan) .
17. Al wajiz (yang ringkas).
18. Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)
19. Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja).
20. Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih).
21. Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).
22. Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)
23. Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqiha).
24. Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod). 25. Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al qur’an).

BAB TAMBAHAN KESETIAAN IMAM AL GHAZALI KEPADA GURUNYA.

Walupun kemashuran telah diraih imam al-ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al-Juwami wafat, beliau memperkenalkan imam al-Ghazali kepada Nidham Al Mulk, perdana mentri sulatan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al- nidzamiyah. Di Nashabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M) Setelah gurunya wafat, Al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham Al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer dan desegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidhzamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al mungkiz min al dahalal. Selama mengajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa.penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti Falsafah Tuhfatul Al Falasifah.

Pada tahun 488 H / 1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan(ekeptis) trhadap ilmu-ilmu yang dipelajari(hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehungga beliau menderita penyakit selam adua bulan Aqidah dan Madzhab Beliau Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.” Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah. Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya. Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110). Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara: Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya. Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628). Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111). Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. wassalam