Cari Blog Ini

Kamis, 26 Mei 2011

TASAWUF

(Asal Usul dan Arti Tasawuf, Maqâmât dan Ahwâl)
Oleh: Haris Luthfi, S.HI 1
A. Pendahuluan
Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi
ruang gerak manusia. Al-Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang
menggiring manusia menuju ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua
dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat
dirasakan dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan
bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti
melalui panca indra dan organ tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses
komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci dengan jiwa Yang Maha Suci. Suatu
kebahagiaan yang luar biasa dan anugrah yang tiada tara.
Mengikat lingkaran rohani dengan Allah merupakan tujuan akhir
kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fitrah yang
diciptakan Allah disebut dengan kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan
yang hanya bersandarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu. Oleh
karena itu manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh
sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang
mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara,
yaitu maqâmât dan ahwâl. Dalam perkembangannya tasawuf mendapatkan
berbagai kendala, ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal
dari Islam itu sendiri tetapi merupakan pengaruh dari ajaran-ajarn agama lain.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dicoba memaparkan
beberapa persoalan yang berhubungan dengan asal usul tasawuf, pengertian
1 Penulis adalah Cakim PA Jambi
2
tasawuf dan maqâmât dan ahwâl yang harus dijalankan oleh seorang untuk
menjadi seorang sufi.
B. Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai
asal kata tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata ahl alsuffah,
yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah,
kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di mesjid dan
tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut
suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati mulia, tidak mementingkan
keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.2
Ada yang bependapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam
shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan mendapat
kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi
pahala. Dan ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shafa’ yang
berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihanlatihan
yang lama.3
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah merupakan asal kata tasawuf. Di
dalam transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophos ke dalam Bahasa
Arab menjadi (sin) dan bukan (shod), sebagaimana halnya kata falsafat dari
kata philosophia. Dengan demikian kata sufi ditulis dengan (sufi) dan bukan
(shufi).4 Selain itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf ( ) yang
berarti wol kasar. Kain yang terbuat dari wol kasar merupakan simbol
kesederhanaan dan kemiskinan. walaupun hidup penuh kesederhanaan dan
miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.5
2Harun Nasution, selanjutnya disebut Harun, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintangt, 1973, h.57
3Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982, h.9
4Harun, loc.cit.
5Ibid.
3
Pendapat yang paling banyak dipakai dan megacu kepada makna sufi itu
sendiri menurut para ahli adalah pendapat yang terakhir. Wol merupakan simbol
kesederhanaan yang melambangkan kehidupan para sufi itu sendiri.
Memberikan suatu definisi yang definitif terhadap tasawuf tidaklah
mudah, karena esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang sulit untuk
dijelaskan melalui bahasa lisan. Tasawuf bersifat subyektif kerena pengalaman
para sufi berbeda satu sama lain. Walupun demikian para ulama berusaha
memberikan definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya.
Tasawuf menurut Junaid al-Bagdadi (W.297 H/910 M) adalah
membersihkan hati dari sifat-sifat yang menyamai binatang, menekan sifat
basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian,
berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas
dasar keabadiannya, menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at
Rasulullah.6
Tasawuf menurut Husni adalah kesucian hati dari pencemaran
ketidakselarasan. Maksudnya bahwa seorang sufi harus menjaga hatinya dari
ketidakselarasan dengan Tuhan, karena cinta adalah keselarasan dan pencinta
hanya punya satu kewajiban di dunia, yaitu menjaga atau melaksanakan perintah
sang kekasih.7
Menurut Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup tiga
aspek, yaitu: Kha’, maksudnya takhalli, berarti mengosongkan diri dari perangai
yang tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang berarti menghiasi diri dengan akhlak
terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli, yang berarti mengalami kenyataan
ketuhanaan.8 Maksudnya Allah menampakkan dirinya kepada sufi tersebut.
Ibrahim Basuni mengkategorikan pengertian tasawuf kepada tiga hal, yaitu
al-bidâyah, al-mujâhadah, al-mudzâqah.9 Definisi berdasarkan al-bidâyah bahwa
prinsip awal tumbuhnya tasawuf sebagi manisfestasi dari kesadaran spiritual
6Taufik Abdullah (ed), selanjutnya disebut Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam;
Pemikiran dan Peradapan, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth, h.139
7Ali Ibn Usman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub (the oldest Persian Treatis on Sufism), Alih
Bahasa: Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM, Bandung: Mizan, 1994, h.47
8Taufik, loc.cit.
9Ibrahim Basuni, Nasy`ah al-Tasawuf al-Islâm, Mesir: Dâr Ma’ârif, tth, h.17
4
manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kategori ini menekankan
kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada yang Maha Mutlak,
sehingga orang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Definisi berdasarkan al-mujâhadah yaitu pengertian yang membatasi
tasawuf pada pengamalan-yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam
mendekatkan diri kepada Allah- yang didasarkan atas kesungguhan. Definisi
berdasarkan kategori al-madzâqah adalah pengertian yang cenderung membatasi
tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keagamaan, terutama dalam
mendekati zat yang mutlak.
Abu Bakr Muhammad al-Kattani memberikan pengertian yang singkat dan
padat bahwa tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian.10 Pengertian ini
mencakup dua segi, keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang.
Pertama adalah cara yaitu kejernihan hati. Cara yang dilakukan adalah melakukan
mujâhadah, menghapus sifat-sifat tercela, memutus hubungan dengan kesenangan
duniawi dan berkonsentrasi penuh ke hadirat Allah. Kedua adalah tujuan yaitu
penyaksian. Penyaksian adalah derajat ma’rifah yang paling tinggi yang
merupakan tujuan akhir bagi orang-orang yang memiliki perasan halus dan
berkepribadian mulia.
Dari beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin bahkan menunggal
dengan Allah.
C. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Pola perkembangan tasawuf tidak jarang mendapat kritikan dan kecaman
yang tajam, sehingga sering pula menimbulkan ketegangan dalam dunia
pemikiran Islam, permasalahan yang muncul adalah apakah tasawuf benar-benar
berasal dari ajaran Islam atau merupakan ajaran-ajaran agama lain yang dianut
oleh umat Islam itu sendiri?
10Abdul Halim Mahmud, selanjutnya disebut Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Alih
Bahasa Abdullah Zaky al-Kaaf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h.26
5
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai
untuk mistisisme Islam dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain.
Orang yang pertama kali memakai kata sufi adalah Abu Hasyim al-kufi di Irak
(150 H).11
Menurut Harun Nasution12 ada beberapa pendapat yang menyatakan asal
usul ajaran tasawuf, di antaranya berasal dari ajaran Budha dengan paham
nirwananya, bahwa untuk mencapai nirwana seseorang terlebih dahulu harus
meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fanâ yang terdapat
dalam sufisme hampir sama dengan paham nirwana. Dan pendapat yang
mengatakan bahwa itu berasal dari ajaran Hindunisme, yang juga mendorong
manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dan Brahman.
Ignaz Goldziher orientalis dari Austria, Asin Palacios orientalis dari
Spanyol, Alfred Von Kremer dari Jerman dan R.A. Nicholson orientalis dari
Inggris memandang bahwa tasawuf Islam berasal dari asketisme Kristen, karena
kependetaan Kristen cukup dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun
Suriah dan Sinai. Para pendeta Kristen yang berdiam di gurun-gurn itu sedikit
banyaknya telah memberikan inspirasi kepada sejumlah zahid13 muslim generasi
pertama. Di samping itu kegemaran kaum sufi dalam menghayati kehidupan
kesunyian menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen.14
Orientalis lain berpendapat bahwa tasawuf merupakan suatu bagian yang
asing dalam Islam dan berkemungkinan berasal dari pendeta-pendeta di Syam,
atau dari ajaran Plato, dari ajaran Zoroaster di Persia, dari ajaran Weda dalam
agama Hindu. Namun tidak semua orientalis ini yang konsisten dengan pendapat
11Harun, op.cit., h.56
12Ibid., h.59
13Setiap sufi adalah zahid dan tidak setiap zahid adalah sufi. Namun ada kecenderungan
disebagian kalangan manusia yang memandang bahwa tasawuf sama dengan zuhud. Ketika
mendengar kata tasawuf ia pasti memahami makna zuhud. Kata sufi diartikan sebagai zuhud
terhadap dunia dan ada juga yang memcampur adukkan antara sufi dengan abid. Ibn sina dalam
bukunya al-isyârah membedakan antara sufi, zuhud dan abid. (1) Seorang yang menjauhi
kesenangan dan kenikmatan duniawi dinamakan zahid, (2) Seorang yang menekuni ibadah-ibadah
seperti; shalat, puasa dan lai-lain dinamakan dengan abid, (3) Seseorang yang memusatkan
pikirannya pada kesucian Tuhannya dan mengharap terbitnya cahaya al-haq dalam hati dinamakan
al-arif atau al-sufi. Abdul Halim, op. cit., h.24
14Taufik, op.cit., h.143
6
mereka. Ada di antara mereka yang kemudian mengubah pendapat mereka, seperti
yang dilakukan Nicholson “Selama ini timbulnya tasawuf Islam telah dibahas
dengan cara yang salah, akibatnya banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup
dan kekuatannya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu
kerajaan Islam yang memungkinkan penafsiran pertumbuhannya dengan penfsiran
ilmiah dengan menggembalikannya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu atau
Neo-platonisme.15
Louis Masigmon16 menjelaskan pendapat Nicholson ini, sebenarnya
Nocholson menjelaskan bahwa penetapan tasawuf sebagai suatu ajaran asing
dalam Islam tidak dapat diterima adapun yang benar adalah sejak lahirnya Islam.
Ini didapati dari pendapat para sufi dan telah timbul dalam hati umat Islam itu
sendiri disaat umat Islam gemar dan tekun membaca dan mempelajari al-Qur`an
dan hadis.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam-dari
Persia, Hindu, Nasrani dan lain-lain- hanya mendasarkan pendapatnya kepada
kesamaan tipologi saja. Untuk dapat membenarkan adanya interaksi histories
antara sumber-sumber di atas dengan tasawuf, harus dapat dibuktikan secara
faktual. Jelasnya, akar histories dari tasawuf dan sumber tasawuf itu sendiri
adalah berasal dari respon umat Islam terhadap situasi dan kondisi serta ajaran
Islam itu sendiri. Tasawuf digali dari al-Qur`an dan hadis yang dikembangkan
berdasarkan kehidupan Nabi dan para sahabat. Walaupun dalam
perkembangannya terdapat unsur-unsur tertentu yang ada kemiripannya dengan
karakteristik mistisisme pada umumnya, tetapi kemiripan itu terjadi karena
berakar dari universalitas hakekat manusia. Sementara Brown17 mengomentari
kesamaan itu hanyalah pada kulit sedangkan pada isi tetap berbeda.
Pada hakikatnya timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan
kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul.
Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul
berulang kali melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira`. Di samping untuk
15Abdul Halim, op.cit., h.118
16Ibid., h.119
17Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Panjimas, 1993, h.46
7
ber-uzlah dari masyarakat yang memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga
berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari nodanoda
yang ada pada masyarakat saat itu.
Tahanuts yang dilakukan oleh Nabi tersebut bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan dan
menempuh untuk mendapat hidayah dari Pencipta alam semesta. Dengan
mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan dalam merenungkan alam yang
terbentang luas di tempat yang luas dan bebas, lebih menggugah hati Rasul untuk
merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Tahanuts ini merupakan cahaya
pertama dan utama bagi tasawuf atau benih pertama bagi kehidupan rohaniyah
yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniyah.
Segala pola tingkah laku, amal perbuatan dan sifat-sifat Rasul sebelum
diangkat menjadi Rasul merupakan manisfestasi dari kebersihan hati dan kesucian
jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.18 Prihidup Rasul tersebut
merupakan pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam pengamalan
ajaran tasawuf.
Ayat-ayat dan hadis yang menjadi sumber ajaran tasawuf dan sebagai
pendorong untuk mengikatkan dan mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya
adalah sebagai berikut:




Artinya: "Hai orang-orang yang beriman siapa yang di anatara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Ku. (al-Maidah: 54)”.
! " # $ %& ' (&
Artinya: “Allahlah yang memiliki Timur dan Barat maka kemana saja
engkau berpaling di sanalah wajah Allah (al-Baqarah: 115)”.
) * +, * - +, *
Artinya: “Dan tidaklah engkau yang melempar sewaktu engkau melempar
akan tetapi Allah yang melempar (al-Anfal: 17)”.
18Tim Penyusun, op.cit., h.37
8
+ *- . $ -/ *- , + 01 . 2 3 $ -/
4 5 6,(* < = *) 7 89 : 7 -/
Artinya: “Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku
mendekatinya sehasta, jika dia mendekat sehasta, maka Aku
mendekat sedepa, jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan
maka Aku datang kepadanya berlari (H.R.Bukhari)”.
F# 2
3G + H 6 ?7 -@ ? A? B . $ 6 2 3 C D E
I B!* J 8K I = LK 2
M = M
= *) N(9 O 8K O B 3 O LK O M O F# P
Q3
(* <
Artinya: “Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal
nawafil sehingga Aku mencintainya, apabila Aku mencintainya
jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,
matanya yang dipergunakan untuk melihat, lidahnya yang
digunakan untuk berbicara, tangannya yang digunakan untuk
menggenggam, kakinya yang digunakan untuk berjalan, dengan
Aku dia mendengar, berpikir, menggengam, dan berjalan (H.R.
Bukhari)”.
D. Maqâmât dan Ahwâl
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin
dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara
umum, terlihat adanya tiga sasaran dari tasawuf,19 yaitu; pertama tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral,. Aspek ini meliputi mewujudkan
kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu
sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral.
Tasawuf semacam ini bersifat praktis. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk
ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung (kasyf al-hijab). Tasawuf ini
bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara
19A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT.
Rajawaligrafindo Persada,1999, h. 57
9
sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana
system pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis.
Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu; dekat dalam arti
melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa
dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan arti dekat
dengan Tuhan adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi
adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dengan iradat Tuhan
Orang-orang sufi mempunyai jalan rohani-untuk mencapai tujuannyayang
menjadi tempat mereka berjalan. Thariqat (jalan) ini berdasarkan pada asas
dan petunjuk serta berpatokan kepada al-Qur`an dan Hadis. Prinsip jalan sufi ini
dinamakan al-maqâmât wa al-ahwâl.20
Maqâmât merupakan istilah kaum sufi yang menunjukan arti nilai etika
yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik melalui beberapa
tingkatan mujâhadah secara berangsur-angsur, yaitu dari suatu tingkatan prilaku
batin menuju pencapaian tingkatan (maqâm) berikutnya dengan bentuk amalan
mujâhadah tertentu. Ini merupakan pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian
yang tidak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi.
Ketika seorang yang sedang menduduki atau berjuang untuk menduduki sebuah
maqâm harus menegakkan nila-nilai yang terkandung dalam maqâm yang sedang
dikuasainya. Oleh karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyâdah
(latihan).
Maqâm merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang
berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang
menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkannya untuk
menempuh jalan menuju tingkatan kedua. Hal ini misalnya dari tingkatan taubat
menuju tingkatan wara`, dari tingkatan wara` menuju tingkatan zuhud. Demikian
jalanya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Kaum sufi berbeda di dalam merinci maqâm yang harus dilalui oleh
seorang salik untuk menuju tujuannya. Imam Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi
membicarakan maqâm pada: taubat, al-wara`, zuhud, al-faqr, al-shabr, al-ridha,
20Abdul Halim, op.cit., h.38
10
tawakal dan lain-lain.21 Menurut Abu Bakr al-Kalabi dalam bukunya al-ta’aruf li
mazhab ahl tasawuf, yaitu: taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, takwa,
tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah,. Abu Hasan al-Qusyairi membaginya kepada:
taubat, wara`, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan.22
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqâm yang
harus dilalui oleh seorang sufi. Maqâm pertama, taubat, taubat merupakan batu
pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-Nya. Taubat
adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghapus kesalahan (dosa-dosa)
sebelumnya.23 Taubat orang sufi adalah taubat dari lalai beribadah. Mereka
menganggap dosa kecil seperti dosa besar. Taubat semacam ini mempunyai syarat
sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuannya dengan satu kesiapan
yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar manusia
meninggalkan maksiat, kedua agar manusia menyesali perbuatannya dan ketiga
agar dirinya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatannya
ada kaitannya dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang di atas
dan yang keempat adalah membersihkan diri dari hak orang lain.
Maqâm kedua adalah wara`. Wara` adalah meninggalkan segala sesuatu
yang mengandung syubhat (kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim
wara` adalah kehatian-hatian dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan.24 Dalam
perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan
membuang waktu, berbuat wara` dalam perkataan bukanlah suatu yang sangat
mudah. Wara` dalam hati sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah
dalam hal-hal remeh. Wara` dalam perbuatan meliputi kewaspadaan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya harus berasal dari hasil
yang halal.
Maqâm ketiga adalah zuhud. Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu
sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi
21Ibid., h.39
22Harun, op.cit., h.62-63
23Abdul Halim, op.cit., h.55
24Ibid., h.61
11
dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud berarti mengasingkan diri dari
kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani,
memerangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasingannya dan dalam
pengembaraan. 25
Walaupun terdapat keanekaragaman penafsiran zuhud, namun tetap sama
dalam tujuan, yaitu agar manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagi tujuan
akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas
dan terkendali, jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu
dan perhatian kepada tujuan sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di
“hadirat” ilahi. Dengan demikian zuhud merupakan sikap hidup dengan
mempergunakan dunia seperlunya. Dunia hanya dijadikan sebagai jembatan untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat’ ilahi.
Maqâm keempat adalah faqr. Faqr tidak diartikan dengan hidup dalam
kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan
tetapi faqr dalam konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak
membutuhkan lebih banyak dari apa yang yang telah dimiliki, merasa puas dan
bahagia dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang
lain secara berlebihan. Sikap mental faqr ini merupakan benteng pertahanan yang
kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya sikap
rohaniyah faqr ini, maka dalam menerima atau memanfaatkan segala sesuatu
bersikap wara`.
Maqâm kelima adalah sabar. Sabar salah satu sikap mental yang
fundamental bagi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar diartikan sebagai
suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya
tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak labil walau bagaimanapun beratnya
tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah, karena
seorang sufi beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah iradah Allah
yang mengandung ujian.26
25Simun, Tasawuf dan perkembangan dalam Islam, Jakarta: PT. rajawali Pers. 1996, h.60.
Lihat: Abdul Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Irak: Dâr al-Fikr, 1966, h.
26Tim penyusun, op.cit., h.106
12
Maqâm keenam adalah tawakal. Tawakal bukan berarti menyerahkan
seluruh urusan kepada Allah tanpa dibarengi perencaan yang matang dan tanpa
usaha. Akan tetapi tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah
setelah melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal tidak bisa lepas
dari rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha dijalankan
dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, hasilnya diserahkan kepada
Allah.
Maqâm ketujuh adalah mahabbah. Harun Nasution27 mengatakan bahwa
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain; pertama memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, kedua
menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, ketiga mengosongkan hati dari
segala sesuatu kecuali dari diri yang dikasihi. Maqâm mahabbah dialami oleh
Rabi’ah al-Adawiyah. Rasa cinta kepada Allah begitu bergelora, siang malam
bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi kalbunya sehingga tidak ada ruang
walaupun kecil untuk rasa benci.
Maqâm kedelapan adalah ridha. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan
dari rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Term ini mengandung
arti menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang menimpa
dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah.
Dengan timbulnya rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan, maka
terbina pula kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat
apa saja yang diperintahkan sang kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki
Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia merasa puas terhadap pemberian dari Allah
walaupun sedikit bila dibandingkan dengan yang diterima orang lain.28
Di samping istilah maqâmât terdapat pula dalam literature tasawuf istilah
ahwâl. Maqâmât diperoleh manusia dengan usaha manusia itu sendiri yangtidak
berobah, sedangkan ahwâl tidak diperoleh dari usaha manusia tetapi merupan
anugrah Allah yang berobah Ahwâl merupakan keadaan mental yang hadir secara
otomatis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti perasaan
27Harun, op.cit., h.70
28Ibrahim Basuni, op.cit., h.139
13
senang, sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwâl yang biasa terdapat dalam
tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa, ikhlas, rasa berteman, gembira, dan
syukur29
E. Penutup
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ajaran tasawuf telah
ada dalam Islam semenjak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, bahkan
kehidupan rohani Rasul dan para sahabat menjadi salah satu panutan di dalam
melakukan amalan-amalannya. Ini merupakan sangkalan terhadap pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf merupakan produk asing yang dianut oleh umat
Islam. Tasawuf dan ajaran mistisisme agama lain hanya persamaan tipologi dan
berbeda dalam isinya.
Tujuan tertinggi dari seorang sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah atau kalau bisa menunggal dengan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut
seorang sufi harus melalui cara tersendiri atau tingkatan-tingkatan yang dikenal
dengan istilah maqâm. Di samping istilah maqâm kaum sufi juga menganal istilah
ahwâl yaitu keadaan seseorang yang merupakan anugrah Allah. Kedua-duanya
tidak dapat dipisahkan.
29Harun, op.cit., h.63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......