Ramadhan 1431 H telah lama berlalu meninggalkan kita. Berbahagialah orang yang sampai saat ini tetap istiqomah mempertahankan kefitrahannya. Allah Swt. Berfirman: “Sungguh bahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syam: 9-10) Nurkhalis Madjid dalam bukunya Dialog Ramadhan Bersama Caknur mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ia memulai kehidupannya di alam kebahagiaan yang disebut alam paradiso. Tetapi, karena kelemahannya sendiri (nafsu jabatan, hasrat birahi, kesombongan, kepentingan politik/kelompok) manusia mengalami proses pengotoran nuraninya, sehingga terjatuh ke dalam kesengsaraan atau alam inferno. Datanglah bulan Ramadhan sebagai rahmat Allah kepada manusia untuk membersihkan diri dan bertobat kepada-Nya. Proses pembersihan diri ini disebut alam purgatorio. Setelah berhasil, kembalilah kita ke alam paradiso.”. Jadi, pasca Ramadhan kita seperti bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci, bersih, tanpa noda dosa atau kembali kepada fitrah (‘aidul fitri). Kefitrahan yang telah diraih pasca Ramadhan akan teraktual dalam nilai-nilai ketaqwaan dalam diri yang tercermin dalam sikap dan prilaku saat ini.
Jelas bahwa Puasa Ramadhan memproses diri kita menjadi orang bertaqwa. Sebagaimana penjelasan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183 “La’allakum Tattaqun” (agar kamu bertaqwa). Kata “la’alla” dalam ayat ini memiliki dua faedah. Pertama, litta’lil (alasan berpuasa). Artinya, kita melaksanakan puasa alasannya adalah agar menjadi orang yang bertaqwa. Kedua, littarajji ‘indal mukhatab (harapan dari segi orang yang diajak bicara). Artinya, orang yang melaksanakan puasa berharap dengan puasa yang dia lakukan dalam menjadikan dirinya orang bertaqwa.
Paling tidak menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman, korelasi puasa membentuk diri menjadi orang yang bertaqwa dapat dilihat dari sebagai berikut: pertama, Puasa menjauhkan diri kita dari makan, minum, jima’ padahal itu semua adalah kecenderungan/tabiat manusia. Namun, kita tinggalkan itu sewaktu puasa untuk dekat kepada Allah. Ini adalah tabiat orang yang bertaqwa. Kedua, Kita punya kemampuan untuk makan, minum, atau jima’ di siang Ramadhan tapi tidak kita lakukan karena hadirnya pengawasan Allah dalam diri kita. Ketiga, Puasa mendidik kita untuk thaat terhadap perintah-Nya dan menjuhi larangan-Nya. Keempat, Puasa mampu mempersempit gerakan Syaithan untuk menguasai diri kita dan menjerumuskan manusia dalam kemaksiyatan. Kelima, Puasa melatih kita untuk lapar dan dahaga sehingga turut merasakan keperdulian terhadap sesama dengan zakat (mal/fitrah), dan sedekah.
Aktualisasi Taqwa
Sering kali kita mendengar kata taqwa, bahkan kata taqwa tersebut sering dijadikan dasar atau pijakan untuk melakukan suatu perbuatan. Banyak orang yang mengatakan “Jadilah pribadi yang bertaqwa” atau dalam setiap khutbah jum’at para khatib sering mewasiatkan agar senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita. Tapi tidak semua orang mengetahui makna yang sebenarnya dan apa yang akan diperoleh dari sebuah ketaqwaan yang tertanam dalam diri kita, sehingga tidak pernah mau berusaha untuk mencapai jalan yang bisa mendorong pada ketaqwaan tersebut.
Kata taqwa secara bahasa bentuk masdar dari kata ittaqa, yattaqi (berhati-hati, waspada, takut, menjaga diri dari segala bentuk yang membahayakan). Kata ini berasal dari kata waqa, yaqi, wiqayah (menjaga diri, menghindari, menjauhi). Kata taqwa juga sinonim dengan kata khouf dan khossyah yang artinya takut. Bahkan kata ini juga sangat dekat maknanya dengan kata tho’at (QS. An-Nur (24):52). Secara istilah Imam Ar-Raghib Al-Asfahani, dalam al-Mufradat fi Alfaz Alqur’an mendenifisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”. Dengan demikian taqwa adalah menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah swt. Dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya. Dalam Alqur’an kata ini disebutkan 258 kali dalam berbagai bentuk dan konteks yang bermacam-macam.
Dalam Alqur’an tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksudkan dengan orang yang bertaqwa itu. Alqur’an hanya menyebut beberapa cirinya antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 2-5 (Beriman kepada yang Ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian rizki, beriman kepada kitab Alqur’an dan kitab sebelumnya, yakin terhadap hari akhir). Selain itu dalam QS. Ali-Imran (3):132-135 (menafkahkan harta baik di saat lapang atau sempit, menahan amarah, memaafkan kesalahan, berbuat ihsan, memohon ampunan kepada Allah). Ciri-ciri orang bertaqwa menunjukkan suatu kepribadian yang benar-benar utuh dan integral.
Orang yang bertaqwa akan diberi kelebihan dan keistimewaan oleh Allah baik dunia dan akhirat. Antara lain: dibukakan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya (QS. Ath-Tholaq (65): 2), mendapat rizki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS. Ath-Tholaq (65): 2), dimudahkan segala urusannya (QS. Ath-Tholaq (65): 4), dilimpahkan berkah dari langit dan bumi (QS. Al-A’raf (7): 96, dianugerahi furqan (pembeda), yaitu petunjuk untuk membedakan yang hak dan bathil (QS. Al-Anfal (8):29, diampuni segala kesalahan dan dosanya (QS. Al-Hadid (57):28, QS. Al-Anfal (8): 29), masuk syurga (QS. Ali-Imran (3):133).
Alangkah dahsyatnya dan istimewanya ganjaran bagi orang yang bertaqwa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan menjanjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur, Allah berfirman: “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmatKu atasmu” (QS. Ibrahim (14): 7). Garansi Allah bahwa hanya orang yang bertaqwalah yang paling mulia disisi-Nya. (QS. Al-Hujurat (49):13)
Karena itu, setiap orang yang menginginkan keleluasaan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta’ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkannya berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan. Ultimate Goal Ramadhan kita adalah menjadi orang yang bertaqwa. Kefitrahan yang melekat dalam diri kita pasca Ramadhan harus tetap dipertahankan melalui pengaktualan nilai-nilai taqwa dalam kehidupan. Jangan sampai kesucian diri kembali kita kotori dengan kemaksiyatan dan perbuatan dosa kembali. Allah Swt. Berfirman: “Dan janganlah kamu seperti perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai.” (QS. An-Nahal:92). Ilustrasi yang diberikan Tuhan dalam ayat ini mengandung ‘ibrah bahwa jangan sampai kita melemahkan kembali apa yang sudah kita kukuhkan hanya krena keuntungan material atau kepentingan. Jangan sampai kita merusak apa yang telah kita perbaiki selama ini. Jangan sampai kita kembali kepada kesesatan setelah menemukan kebenaran. Akhirnya, jangan sampai kita mengotori kembali diri setelah berada dalam kefitrahan. Semoga. Mohon Maaf lahir dan bathin. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah swt. Dan kita menjadi orang yang bertaqwa. Wallahu ‘alamu.( Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI Serdang Bedagai.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......