.
Menurut Harun Nasution tasawuf mempunyai lima istilah
yaitu shuffah yang bermakna sebuah serambi sederhana yang terbuat dari
tanah dengan bangunan yang sedikit lebih tinggi daripada tanah, , Shaf
yaitu barisan atau deretan dalam shalat berjama’ah, Shafa yaitu bersih
dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah) dan shuf yaitu kain wol kasar.
Jadi,
jika diperhatikan secara seksama, kelima istilah tersebut bertemakan
tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji; kesederhanaan dan
kedekatan pada Tuhan.
Dengan demikian, dari segi bahasa tasawuf
“menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan
rela berkorban demi tujuan-tujuan yang mulia di sisi Allah.”
Sedangkan
pengertian tasawuf dari segi istilah (terminologi), terdapat tiga sudut
pandang yag digunakan para ahli dalam mendefinisikan tasawuf. Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua sudut pandang
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga sudut pandang
manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang
manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan
dunia dan memusatkan perhatiannya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut
pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan upaya memperindah
diri dengan akhlak yang besumber pada ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan
adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai suatu kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa
agar selalu tertuju pada aktivitas yang dapat menghubungkan manusia
dengan tuhan.
Jika ketiga definisi tersebut disatukan, maka segera
nampak bahwa tasawuf intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai
kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan
duniawi dan selalu merasa dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih
dan memancarkan akhlak mulia.
Dengan menempatkan pengertian tasawuf
secara proporsional dan mempraktekkan dengan tepat dan benar, maka
nampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan dan kemunduran atau
semacamnya, melainkan justru menjadi suatu metode yang efektif dan
impresif dalam menghadapi tantangan zaman dan dinamika kehidupan yang
silih berganti. Sebab, dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positip
yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Bahkan
tasawuf mendoromg wawasan hidup yang moderat (tawasuth) yang bertumpu
pada basis keharmonisan dan keseimbangan total.
Dari Gerakan Hidup Zuhud menjadi Ajaran Tasawuf
Suatu
kenyataan bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan hidup zuhud.
Dengan kata lain bahwa cikal bakal aliran tasawuf adalah kehidupan zuhud
yang sebenarnya telah dipraktekkan dan diajarkan oleh Rasulullah,
kemudian diikuti oleh para sahabat. Pada abad pertama Hijriah mereka
yang menempuh kehidupan zuhud dikenal dengan sebutan nasik, ubad atau
zahid (ascetic). Karena mereka lebih memperbanyak ibadah, zuhud dan
wara’ sesuai dengan batas yang diperintahkan agama. Kemudian pada
pertengahan abad ke-2 H barulah dikenal istilah tasawuf, dan orang yang
melaksanakan tasawuf disebut dengan shufi. Orang yang mula-mula digelari
shufi adalah Abu Hasyim al Kufi (w. 150 H).
Meskipun pada saat itu
sudah ada istilah shufi, tetapi belum berarti telah lahir sistem tasawuf
sebagai ilmu, ia masih dalam perkembangan dari zuhud ke arah tasawuf.
Perkembangan zuhud ke arah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis dimulai
pada permulaan abad ke-3 H, dan mencapai kesempurnaanya pada abad ke-4
H.
Menurut al-Taftazani, pada masa ini terdapat dua aliran tasawuf
Pertama, tasawuf yang beraliran moderat atau tasawuf suluki
(Behaviourist), (ajarannya selalu merujuk pada al Qur’an dan al Sunnah).
Ajaran tasawufnya didominasi ajaran-ajaran moral. Kedua, tasawuf yang
beraliran “wahdatul wujud / kesatuan wujud” (panteisme), atau tasawuf
falsafi (Philosophical). Ajaran tasawufnya mengajarkan konsep hubungan
manusia dengan Allah, seperti hulul dan ittihad, atau bercirikan
kecenderungan pada metafisis.
Abad ke-5 H, masih menurut al-Taftazani
corak tasawuf moderat lebih mendominasi dari aliran tasawuf lainnya,
dan mengadakan kritik yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid
al Busthami dan al Hallaj maupun para sufi lainnya yang dianggap telah
menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, kaum sufi abad ke-5 H
cenderung mengadakan pembaruan, yakni dengan mengembalikan tasawuf pada
landasan al Qur’an dan al Sunnah. Al-Qusyairi (w. 465 H) dan al Harawi
(w. 481 H) dipandang sebagai tokoh-tokoh sufi yang paling menonjol di
abad ini, yang membawa tasawuf ke arah aliran sunni. Kemudian metode
mereka berdua diikuti oleh al Ghazali (w.505 H). Karena itu, pada abad
ke-5 H, tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan.
Para
pengkaji tasawuf sering menempatkan al Ghazali sebagai tokoh utama
periode ini, yang menyelamatkan tasawuf dari kehancuran. Ia berupaya
untuk mengintegrasikan fiqh dan teologi (Ilmu Kalam) menjadi satu ajaran
Islam yang utuh, melalui karya monumentalnya “Ihya ‘Ulum al-Din”,
sehingga tasawuf bisa diterima di kalangan umat Islam saat itu. Karena
pada masa awal kemunculan tasawuf telah terjadi ketegangan-ketegangan
yang serius antara para zahid atau sufi dengan para fuqaha dan
mutakllimin. Sehingga banyak para sufi yang dicap oleh kalangan fuqaha
dan mutakllimin dengan zindiq. Bahkan diantara mereka ada yang dihukum
bunuh, seperti al Hallaj, sufi-sufi seperti Zu al-Nun al-Misri, Abu
Yazid al Bustami, Junaid al-Baghdadi dan laiinya tidak luput dari
tuduhan zindiq tersebut.
Memasuki abad ke-6 H, tasawuf falsafi yang
muncul pada abad ke-4 H dan tenggelam pada abad ke-5 H, muncul kembali
dengan bentuknya yang lebih sempurna pada pengajaran Ibn Arabi (sufi
Andalusia, w. 638 H). Dengan pengetahuan yang amat kaya, baik dalam ilmu
keislaman maupun filsafat, ia berhasil mempublikasikan beberapa
karyanya, diantaranya al Futuhat al Makiyah dan Fusu al Hikam. Hampir
semua praktek, pengajaran dan ide yang berkembang dikalangan kaum sufi
diliputnya dengan penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibn
Arabi adalah “kesatuan wujud” (wahdat al wujud). Melalui sufi-sufi
besar yang menjadi murid atau pengikutnya, seperti al Qunawi (w. 673 H),
al farqani (w. 700 H), al Kasyani (w. 730), Jalaluddin ar Rumi (w. 672
H), dan lain-lain, tasawuf ini berkembang, terutama di Persia.
Isi Pokok Ajaran Tasawuf
Dalam
pandangan kaum shufi, manusia cenderung dikendalikan oleh
dorongan-dorongan nafsu pribadinya. Ia cenderung ingin berkuasa dan
menguasai dunia. Cara hidup seperti ini menurut al Ghazali, akan membawa
manusia ke jurang kehancuran moral. Sebab sadar atau tidak, lambat atau
cepat, manusia akan terbawa kepada pemujaan dunia (hubbu al dunya).
Kenikmatan hidup dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai sarana
untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan akhirat yang hakiki.
Pandangan
hidup seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan
sesamanya. Sehingga ia lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yang
harus berjalan di atas aturan agama. Karena sebagaian besar waktunya
dihabiskan untuk persoalan-persoalan dunia, maka ingatannyapun jauh dari
Allah. Semua itu disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Sebenarnya,
manusia tidak perlu mematikan sama sekali potensi nafsunya, tetapi
bagaimana ia mampu meguasainya agar nafsu itu tidak membawa pada
kesesatan. Memang, pada dasarnya nafsu manusia mempunyai kecenderungan
untuk baik dan buruk, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Asy
Syams, 7-10.
ونفس وما سواها◘ لإا لهمها فجو رها وتقواها◘ قد افلح من زكها◘ وقد خاب من دسها
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Maka Allah mengilhami kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Agar nafsu dapat dikuasai, maka perlu adanya rehabilitasi mental secara
total (lahir dan bathin), sebab hawa nafsu itu merupakan hijab antara
manusia dengan Tuhan. Sebagai upaya untuk menyingkap tabir itu,
seseorang harus melakukan amalan dan latihan kerohaniaan melalui
cara-cara (thariqah) tertentu. Dalam hal ini, ahli tasawuf membuat suatu
sistem yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat, yaitu takhalli,
tahalli dan tajalli.
Takhalli adalah membersihkan diri dari
sifat-sifat basyariyah; yakni manusia dalam dimensi jasmani dan
lahiriahnya yang memilki nafsu (nafsu untuk menikmati hidup dan
kemapanan, nafsu dan hasrat untuk membangun cita-cita, serta kekuatan
dan kelemahan). Dengan ungkapan lain, mengosongkan diri dari sifat
ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi.
Tahalli, mengisi
diri dengan sifat-sifat insaniyah; (manusia dalam dimensi ruhani dan
spiritualnya), atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, sifat dan perbuatan yang terpuji dengan cara mentaati ketentuan
agama baik yang bersifat lahiriyah seperti; shalat, puasa, zakat dan
sebagainya, maupun yang bersifat batin seperti, wara’, ihlas, ridla dan
sebagainya. Jalur yang bisa dilakukan adalah, riyadlah (spiritual
exercise / olah rohani); dzikir, do’a serta memperbanyak ibadah dan
muhasabah (kalkulasi diri); syukur, tawakkal, sabar, cinta kasih, ridla
dan mengingat mati.
Sedangkan tajalli berarti terungkapnya nur gaib
untuk hati, karena telah lenyapnya hijab (tabir) dari sifat-sifat
manusia dalam dimensi jasmani dan lahiriahnya yang memilki nafsu
(basyariyah). Dalam posisi seperti itu, seseorang telah mampunyai rasa
(dzauq) dan memberi pemahaman lebih metafisis tentang rahasia-rahasia
ketuhanan (sirr), sehingga hatinya menjadi kosong dari sifat-sifat
tercela (takhalli), tetapi penuh dengan sifat-sifat terpuji (tahalli).
Karenanya, Allah bisa dikenal secara jelas (tajalli) dengan bantuan nur
kehendak-Nya yang dipancarkan dalam mata hati orang-orang yang
dikehendaki-Nya. Kaum shufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh
pancaran nur Ilahi.
Ketika hijab telah tersingkap, maka Allah tampak
dengan af’al, sifat dan asma’ Nya serta hal-hal yang gaib menjadi
pengetahuan yang hakiki (mukasyafah, ma’rifah dan musyahadah). Hal itu
tidak didapat dengan menyusun dalil dan menata argumentasi, tetapi
karena nur Allah yang dipancarkan-Nya kedalam hati; dan nur itu
merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Oleh karena itu, jika
ada orang yang menyangka bahwa tersingkapnya itu tergantung pada
dalil-dalil semata, maka sesungguhnya orang itu telah menyempitkan
rahmat Allah yang luas.
Tasawuf sebagai Revolusi Spiritual-Moralitas.
Tasawuf
merupakan ajaran yang berasal dari agama Islam, sebab tasawu merupakan
pengejawantahan lebih lanjut dari aspek ihsan, dan ihsan merupakan salah
satu kerangka dasar agama selain iman dan islam. Dengan demikian pada
hakikatnya tasawuf adalah suatu yang inheren (melekat tak terpisahkan)
dengan syariat.
Tasawuf merupakan sebuah media untuk membebaskan diri
manusia dari belenggu nafsu. Dan, pembebasan itu membutuhkan
pengorbanan baik lahir maupun bathin. Kehidupan duniawi yang secara
kemanusiaan sangat dibutuhkan oleh manusia selaku makhluk hidup yang
membutuhkan materi, tapi keinginan tersebut harus di menej (diatur).
Sebab kekacauan hidup dimulai ketika manusia membebaskan diri dari
keterikatanya dengan Allah, atau ketika manusia tidak lagi menganut
“ajaran keterbatasan”. Kekalahan manusia melawan hawa nafsu menyebabkan
kecelakaan dan kecederaan hidup. Hal ini terutama karena akumulasi
gerakan-gerakan nafsu akan menyatu menjadi kekuatan hewani yang menyeret
manusia dari posisi “homo sapiens” (makhluk berakal) ke posisi “homo
economicus” (makhluk matrialistis) dan “homo homini lopus” (manusia yang
berkarakter seperti hewan buas), pemeras, penindas dan bermata hati
hitam pada kebenaran.
Manusia rakus diumpamakan sebagai bebek yang
setelah makan semua yang ada dipermukaan air, lantas ia akan membenamkan
paruhnya ke dalam lumpur untuk menyosor apa saja yang ada di dalamnya.
Orang rakus menjadi semacam penggarong yang menggeledah semua isi rumah
bahkan negara dan memenuhi seluruh kantongnya dengan cepat, dia akan
memasukkan apa saja, baik atau buruk, panas atau dingin, dan sebagainya.
Fenomena ini bisa kita saksikan pada sebagian besar bangsa Indonesia
yang mayoritas umat Islam, tetapi negara Indonesia merupakan salah satu
negara terkorup di dunia. Suatu hal hal yang sangat ironis, satu sisi
warga negaranya mayoritas beragama Islam yang menjunjung nilai-nilai
moral, tapi di sisi lain korupsi meraja lela. Hal demikian terjadi,
karena manusia sudah dikalahkan dengan keinginan nafsu duniawinya. Di
negara ini semua tidak bisa diperoleh dengan gratis tetapi harus dengan
uang. Untuk bisa menjabat sebagai kepala desa saja, harus mempunyai dana
minimal Rp. 500 juta, dengan asumsi gaji kepala desa hanya beberapa
tanah bengkok yang juka dikalkulasi dalam jangka 5 tahun, modal itu
tidak akan kembali. Yang menarik di sini adalah, mengapa dengan gaji
yang tidak seberapa itu jabatan kepala desa diperebutkan oleh banyak
orang bahkan di Madura ada yang sampai “carok massal” –kasus 2007, di
desa Bira Kecamatan Palengaan pamekasan--. Jawabannya tentu ada hal lain
di balik itu yang bisa menguntungkan secara materi. Sehingga ketika
jabatan sudah diraih, mulailah mengeruk, menggarong uang rakyat. Para
politikus cara berpolitiknya sudah menyimpang dari koridor –koridor
agama, mereka melakukan apa saja, menyuap, memanipulasi ayat al Qur’an
bahkan memerah kyai untuk mencapai ambisi pribadi dan partainya, mereka
yang berprofesi sebagai guru atau dosen tanpa merasa bersalah telah
memanipulasi data hanya untuk menaikkan jabatan agar bertambah tunjangan
materinya, bahkan kyai tidak mau ketinggalan menjual suara warga atau
santrinya hanya untuk memperoleh segelintir bantuan. Dengan kata lain,
bahwa warga bangsa ini sudah jauh dari aturan agama.
Suri
tauladan sejak semula sudah dicontohkan bahkan diserukan oleh Rasulullah
saw, betapa beliau menghindari hidup rakus dan boros, sebaliknya
mengakrabi hidup kesederhanaan. Sikap mampu menahan diri terhadap
kehidupan duniawi itu membangun kecintaan kepada Allah. Ajaran hidup
hemat terhadap kebutuhan duniawi perlu diaksuentasikan, lebih-lebih
kehidupan nasional saat ini yang tengah diberondong varian krisis.
Bila
penghematan kekayaan bisa ditekuni apalagi sampai menjadi gerakan
massal yang menasional, serta kontinyu, maka akan bernilai matreial yang
sangat besar yang mampu meringankan beban pukulan krisis ekonomi.
Penyikapan akan hidup hemat dan kesederhanaan, ini tidak berarti bahwa
manusia harus meninggalkan dan menanggalkan kehidupan duniawi sama
sekali, sebab hal itu bertentangan dengan konsep agama. Sebagaimana
terdapat dalam surat al Qashas, 77.
وابتغ فيما اتك الله الدار الآخرة
ولآ تنس نصيبك من الد نيا واحسن كما احسن الله اليك ولآ تبغ الفسد فى
الآرض. ان الله لآ يحب المفسد ين (القصاص: 77)
Dan carilah apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Manusia
yang kalah melawan dan mengedalikan hawa nafsunya menjulurkan kehidupan
ke bawah lumpur kehidupan dengan hanya sanggup mencintai pakaian
jasmaniah, tanpa pernah merasa risau dengan realitas rohaniahnya yang
kosong ompong tanpa isi. Usaha sufi sesungguhnya tiada lain untuk
menanggalkan baju jasmaniah itu. Bagi sufi perjalanan hidup hanya satu
yaitu “Tuhan”. Dan tuhan tidak mau dimadu dengan dunia. Lalu bagaimana
agar ajaran tasawuf bisa dilaksanakan pada era yang serba materi dan
pada kondisi yang krisis ini, sehingga ajaran tasawuf benar-benar bisa
dirasakan kemanfaatannya ?
Esensi dasar ajaran sufisme adalah menahan
hawa nafsu keduniawian, kiranya sufistik kekuasaan menuntun kita untuk
mampu menahan diri atau membangun pola kesederhanaan hidup duniawi
dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Ajaran Islam
tidak memisahkan antara isi dengan kulit, antara syariat dengan tasawuf.
Syariat dan tasawuf sebenarnya bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang.
Syariat dan tasawuf menyatu dalam setiap ibadah. Syariat tanpa tasawuf
bagaikan badan tanpa jiwa, dan tasawuf tanpa syariat bagaikan jiwa tanpa
badan. Syariat adalah ilmu yang bagaikan pohon, dan tasawuf adalah amal
sholeh yang bagaikan buah. Jika salah satu saja yang diperhatikan
sedangkan yang lainnya diabaikan, maka tidak saja sia-sia tetapi justru
akan menimbulkan kontra produkif yang dapat mendatangkan malapetaka.
Munculnya
ungkapan-ungkapan sinis dalam masyarakat, seperti; banyak orang yang
lapar tapi sedikit yang puasa, banyak mahasiswa yang kuliah tapi sedikit
yang belajar, banyak orang yang meraih gelar sarjana tapi sedikit yang
cendikia, banyak guru /dosen yang mengajar tapi sedikit yang mendidik,
banyak orang yang sholat tapi sedikit yang menegakkan nilai-nilai
sholat, banyak orang yang bersholawat tapi sedikit yang menegakkan
sunnahnya, dan seterusnya. Ungkapan-ungkapan sinis tersebut merupakan
akibat lepasnya syariat dari tasawuf.
Sebagaimana telah diuraikan di
atas, bahwa pada dasarnya ajaran tasawuf merupakan pengalaman (al
tajribah) spiritual yang bersifat pribadi / khusus, dan tidak semua
orang dapat mengalaminya. Dan, setiap shufi mempunyai cara tersendiri
(thariqah) dalam rangka revolusi spiritual; penjernihan hati dan
pengungkapan kondisi dirinya untuk mencapai ma’rifatullah.
Bagi kaum
shufi, ma’rifatullah merupakan tujuan utama (primer) dan pijakan
mendasar (iltizam) dalam proses ibadah. Melalui tujuan inilah, kaum
shufi berkonsentrasai penuh melatih keruhaniyahannya (tajribah al
ruhiyah) untuk menggapai penyucian hati (tazkiyatun nafsi) secara
kontinu. Ikhtiar atau pelatihan shufi ini kemudian mempengaruhi
penajaman hati. Dengan latihan yang intensif dan tepat sasaran, maka
akan tersingkap segala selubung dalam hati (makrifat). Dalam kondisi
demikian, kelimpahruahan materi dunia tidak akan mempengaruhi hatinya.
Seorang shufi adalah mereka yang kaya hatinya, tapi tidak pasif terhadap
realitas dunia. Kehidupan dunia ini bagi sang shufi adalah fakta yang
tidak bisa diingakri. Mereka menghadapi secara realistis dengan
kedekatan kepada Allah. Segala aktivitas yang dilakukan bertujuan
mencari ridla Allah.
Teladan-teladan kesufian bisa dilihat dalam
sejarah, seperti Umar bin Abdul Azis seorang raja yang bersikap asketis,
Jabir ibnu Hayyan, seorang fisikawan yang shufi, Al Junaid seorang
pengusaha suskes sekaligus shufi, Syeikh Abu al Hasan Asy Syadzili,
seorang petani yang shufi, dan tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan
bahwa seorang shufi sesungguhnya tidaklah berjarak total dari dunia.
Sang shufi hanya memagaru dirinya dengan dunia melalui medium pelatihan
ruhani sehingga tercapai keteduhan dan ketenangan jiwa (an nafsul
muthmainnah).
Secara praktis, dalam dunia kesufian, ini lazim
ditempuh melalui pelatihan spiritual yang terformulasikan dalam maqamat
ruhiyah (tahapan spiritual) yang digapai melalui bermacam-macam ibadah,
mujahadah, riyadlah, serta mempersembahkan jiwa raga hanya untuk Allah.
Jumlah maqomat tidak dapat dipastikan secara matematis, karena setiap
shufi memiliki pengalaman ruhani sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
para ahli tasawuf (mutasawwifah) secara umum menetapkan tujuh maqamat,
yaitu; taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan ridla.
Sebagai
konsekwensi dari perolehan maqamat yang bersifat konstan, seorang shufi
akan mengalami ahwal, yaitu kondisi spiritual yang menyelimuti qalb,
bersifat spontan dan tidak langgeng. Ahwal merupakan ekspresi ketulusan
seorang sufi dalam mengingat Allah.
Ahwal yang menyelimuti para shufi
(pelaku tasawuf) pada dasarnya merupakan proses revolusi qalbu yang
mengandung dua substansi: Pertama, takhalli. Pada fase ini, terkadang
para shufi mengalami kondisi raja’ (optimistis) atau sebaliknya khauf
(segan). Kedua, tahalli. Pada fase ini, para shufi dapat mengalami
kondisi fana’ atau sebaliknya, hudlur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......