Cari Blog Ini

Sabtu, 08 Oktober 2011

kiat agar rizqi barokah

Ibnul Qayyim berkata: “Tidaklah kelapangan rizqi dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak. Akan tetapi kelapangan rizqi dan umur diukur dengan keberkahannya.” ([5]) Bila ada yang berkata: Itukan kelak tatkala kiyamat telah dekat, sehingga tidak mengherankan, kerana saat itu, banyak terjadi kejadian yang luar biasa, sehingga apa yang disebutkan pada hadits ini adalah sebagian dari hal-hal tersebut. Ucapan ini tidak sepenuhnya benar, sebab hal yang serupa –walau tidak sebesar yang disebutkan pada hadits ini- juga pernah terjadi sebelum zaman kita, yaitu pada masa-masa keemasan umat Islam. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ”Sungguh dahulu biji-bijian, baik gandum atau lainnya lebih besar dibanding yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu-pen) lebih banyak. Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian khalifah Bani Umawiyyah sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: “Ini adalah gandum hasil panenan masa keadilan ditegakkan.” ([6]) Seusai kita membaca hadits dan keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas, kemudian kita berusaha mencocokkannya dengan diri kita, niscaya yang kita dapatkan adalah kebalikannya, yaitu makanan yang semestinya mencukupi beberapa orang tidak cukup untuk mengenyangkan satu orang, berbiji-biji buah delima hanya mencukupi satu orang,. Dalil Ketiga: “Dari sahabat Urwah bin Abil Jaed Al Bariqy radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya.” (Riwayat Al Bukhory) Demikianlah sedikit gambaran tentang peranan keberkahan pada usaha, penghasilan, dan kehidupan manusia, yang digambarkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Sebenarnya, masih banyak lagi gambaran tentang peranan keberkahan yang disebutkan dalam Al Qur’an atau hadits, hanya karena tidak ingin terlalu bertele-tele, saya cukupkan dengan tiga dalil di atas sebagai contoh, sedangkan sebagian lainnya akan disebutkan pada pembahasan selanjutnya. Bila demikian adanya, tentu setiap orang dari kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta kita. Setiap kita pasti bertanya-tanya: bagaimanakah caranya agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah? Sebagaimana peranan keberkahan dalam hidup secara umum, dan dalam usaha serta penghasilan, telah banyak diulas dalam Al Qur’an dan Hadits, demikian juga persyaratan dan metode mendapatkannya. Berikut saya akan sebutkan beberapa persyaratan dan metode tersebut: 1. Iman kepada Allah. Inilah syarat pertama dan terbesar agar rizqi kita diberkahi Allah, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ "Andaikata penduduk negri-negri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. Al A'raf: 96) Demikianlah imbalan Allah kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba-Nya. Dan sebaliknya, orang yang kufur dengan Allah Ta'ala, niscaya ia tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup. Diantara perwujudan iman kepada Allah Ta'ala yang berkaitan dengan penghasilan ialah dengan senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizqi apapun yang kita peroleh ialah atas karunia dan kemurahan Allah semata, bukan atas jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu karena Allah Ta'ala telah menentukan jatah rizqi setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya. ([7]) Bila kita pikirkan diri dan negri kita, niscaya kita dapatkan buktinya, setiap kali kita mendapatkan suatu keberhasilan, maka kita lupa daratan, dan merasa itu adalah hasil dari kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana kita menuduh alam sebagai dalangnya, dan kita melupakan Allah Ta’ala. Ketika Aceh ditimpa musibah Sunami, kita menuduh alam sebagai penyebabnya, yaitu dengan mengatakan itu karena akibat dari pergerakan atau benturan antara lempengan bumi ini dengan lempengan bumi itu, dst. Ketika musibah lumpur di porong menimpa kita, kita rame-rame menuduh alam dengan mengatakan itu dampak dari gempa yang menimpa wilayah Jogjakarta dan sekitar. Ketika banjir melanda Jakarta, kita rame-rame menuduh alam, dengan berkata: siklus alam, atau yang serupa. Jarang diantara kita yang mengembalikan semua itu kepada Allah Ta’ala, sebagai teguran atau cobaan atau mungkin juga sebagai azab. Bahkan orang yang berfikir demikian akan dituduh kolot, kampungan tidak ilmiyah, atau malah dianggap sebagai teroris dst. ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah)." (Qs. Ar Rum: 41) "Dari sahabat Zaid bin Khalid Al Juhani radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kita shalat subuh di Hudaibiyyah dalam keadaan masih basah akibat hujan tadi malam. Seusai beliau shalat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berkata: "Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?" Mereka menjawab: "Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Allah berfirman: Ada sebagian dari hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan kafir. Adapun orang yang berkata: Kita telah dihujani atas karunia dan rahmat Allah, maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kufur dengan bintang. Dan orang yang berkata: kita dihujani atas pengaruh bintang ini dan itu, maka itulah orang yang kufur dengan-Ku dan beriman dengan bintang." (Muttafaqun 'alaih) Bila demikian adanya, maka mana mungkin Allah akan memberkahi kehidupan kita?! Bukankah pola pikir semacam ini adalah pola pikir yang menyebabkan Qarun diazab dengan ditelan bumi?! قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku." Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya. (Qs. Al Qashash: 78) Di antara perwujudan nyata iman kepada Allah dalam hal rizqi, ialah senantiasa menyebut nama Allah Ta'ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan: Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha: bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang arab baduwi, lalu ia menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian." (Riwayat Ahmad, An Nasai dan Ibnu Hibban) Pada hadits lain Nabi bersabda: أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إذا أتى أَهْلَهُ وقال: بِسْمِ اللَّهِ اللهم جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ ما رَزَقْتَنَا، فَرُزِقَا وَلَدًا، لم يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ Ketahuilah bahwa salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata: "Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami", kemudia mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen) niscaya anak itu tidak akan diganggu syetan. (Riwayat Bukhory) Demikianlah peranan iman kepada Allah, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan dalam mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......