, A. PENGERTIAN WASHILAH, B. DASAR HUKUM WASHILAH, C. WASHILAH YANG DILARANG.
A. PENGERTIAN WASHILAH, WASHILAH-SILSILAH ( TAWASSUL ), C. WASHILAH YANG DILARANG., B. DASAR HUKUM WASHILAH
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (Nuurun ‘Alaa-Nuur), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memper-buat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur: 35)
Dalam bab ini, kita akan mencoba menguraikan masalah washilah yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Islam, agar supaya mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai Ilmu Tasawwuf, khususnya mengenai Ilmu Thariqat dan Sufi. Para ulama memahami washilah ini berbeda-beda pendapat namun intinya mereka bersepakat bahwa washilah adalah sesuatu yang dibenarkan dan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah : 35:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
A. PENGERTIAN WASHILAH
1. Washilah menurut bahasa ialah “Sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain.”
2. Di dalam kamus dinyatakan : Al-wasilah dan Al-Waasilah.
“Almanzilatu indal maliki” yang berarti “Satu kedudukan di sisi raja”.
Dan diartikan juga dengan “ad-darjatu” (derajat) dan “al-qurbatu” (dekat) “Wa wassala ilalahi tausila (Dia mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah)”
3. Dalam “Al-Mishbah”, dinyatakan :
“Wassaltu Ilallahi bil’amal (Saya mendekatkan diri kepada Allah dengan amal).”
“Taqarroba ilaihi bi’amalin (Dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal).”
4. Didalam tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 dijelaskan :
“Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud.”
Dan “nama sebuah tempat kediaman Rasulullah SAW dalam surga, paling dekat dengan ‘Arasy”.
5. Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan washilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain.
Mengenai pengertian kata “washilah” yang tersebut di atas, menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam kitabnya “At-tawashshul ila haqiqatit-tawashshul” sependapat (ijmak) ahli-ahli bahasa menyatakan demikian.
Adapun tawashshul menurut hukum Islam ialah pendekatan diri kepada Allah, dengan mentaati dan beribadat kepada-Nya, mengikuti Nabi-Nabi dan Rasul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan diridhoi-Nya.
Ibnu Abbas ra, menegaskan : “Al-washilah hiyal qurbah (Wasilah ialah pendekatan).”
Qatadah menafsirkan Al-Qurbah itu : “Dekatkan diri kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan apa saja yang disukai-Nya.”
Demikianlah setiap yang diperintahkan Syara’, baik yang wajib maupun yang sunnat adalah tawassul atau washilah menurut Syara’.
Adapun washilah terbagi dua :
1. Washilah yang disyariatkan (masyru’).
2. Washilah yang dilarang (mamnu’).
Adapun washilah yang disyariatkan ialah setiap washilah yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga dapat mendorong kita untuk melaksanakannya. Dan washilah seperti itu dijelaslah “sesuatu pendekatan kepada Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang disukai dan diridhoi-Nya.”
Washilah yang disyariatkan itu terbagi pula menjadi 3 (tiga) diantaranya :
1. Washilah seorang Mu’min kepada Allah dengan zat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi.
2. Washilah seorang Mu’min kepada Allah, dengan amal-amal shalehnya.
3. Washilah seorang Mu’min kepada Allah dengan do’a saudaranya yang Mu’min.
B. DASAR HUKUM WASHILAH
Adapun dasar hukum washilah itu antara lain firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Maidah 35 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ayat ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Jadi ayat ini bukan ditujukan untuk orang-orang yang setengah beriman (ragu-ragu terhadap adanya Tuhan), orang-orang yang musyrik dan orang-orang kafir, sebab mereka ini akan menjadikan jalan (washilah) itu sebagai Tuhan mereka.
2. Untuk mencapai kebahagiaan harus melalui syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.
b. Hendaknya mencari jalan (washilah) untuk menuju kepada-Nya.
c. Berjuang pada jalan-Nya itu.
d. Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan.
Pendapat-pendapat ahli tafsir tentang maksud “washilah” dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tafsir Al-Khazin jilid 2 menyatakan :
“Carilah (tuntutlah) “pendekatan” kepada-Nya, dengan mematuhi dan mengamalkan sesuatu yang diridhoi-Nya.”
2. Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 menyatakan :
“Kata Soufyan Ats-Tsauri dari Tholhah, ‘Atho’ dan dari Ibnu Abbas, maksud “washilah” itu adalah “pendekatan”.
Pendapat itu diperkuat oleh Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir dan Ibnu Zaid, dan lain-lain.
3. Tafsir “Fi Zhilalil Qur’an”, jilid 6 menyatakan :
“Menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, ibtaghu ilaihil washilah berarti “ibtaghu ilahil hajah”, artinya “carilah hajat kepada-Nya.”
Al-washilah dalam ayat itu bermakna “al-hajat”.
4. Ar-Roghib dalam “Qamus Qur’annya “Mufrodatul Qur’an” menyatakan :
“Hakikat washilah kepada Allah itu ialah memelihara jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah.”
“Si Pulan berwashilah kepada Allah, artinya apabila dia melakukan amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya.”
5. Tafsir “Al-Futuhatul Ilahiyah” jilid 1 menyatakan :
“Sesuatu yang mendekatkan kamu kepada-Nya, dengan mentaati-Nya.”
Imam Syeikh Syarbaini Al-Khatib dalam Tafsirnya “Sirojul Munir”, Imam Zamakhsari dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf”, Qadhi Al-Baid-dhowi dalam tafsirnya “Anwarut Tanzil” Fakhrur Razi dalam tafsirnya “Al-Kabir” pada umumnya menyatakan bahwa maksud ayat itu adalah “carilah jalan supaya kamu dapat taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.”
Jika kita perhatikan pendapat ahli-ahli tafsir itu, dengan seksama, maka maksud ayat 35 surat Al-Maidah itu adalah Allah menyuruh kita mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mentaati semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Washilah dalam ayat itu mengandung pengertian umum. Kalangan ahli thariqat berpendapat salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah itu adalah dengan perantaraan rabhithah (pertalian ruhani dengan Mursyid yang selanjutnya sampai ke ruhani Rasulullah SAW dan akhirnya sampai kepada Allah), karena menurut mereka rabithahlah washilah yang sebaik-baiknya, sebab yang dijadikan rabithah itu Nabi SAW, Syeikh-syeikh atau orang yang menempati kedudukan yang tinggi.
Namun demikian bukanlah kalangan thariqat mengartikan washilah dalam ayat itu adalah rabithah, sebab arti demikian bertentangan dengan penafsiran kitab-kitab Tafsir yang mu’tabar. Cuma dari sekian banyak jalan pendekatan, menurut mereka yang paling baik adalah melalui rabithah.
1. Firman Allah Q.S. Al-A’raf 180 :
“Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Ayat itu mengandung perintah supaya kita berdo’a kepada Allah dengan washilah nama-nama-Nya yang Agung atau Ismul A’dham. Dengan berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung tersebut diharapkan permohonan kita cepat diperkenankan atau dikabulkan oleh Allah SWT.
Abu Yusuf berpendapat tidak wajar seseorang berdo’a kepada Allah tanpa berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung, dan dengan do’a-do’a yang dibenarkan dan diperintahkan.
Jelaslah bahwa ayat itu menganjurkan supaya kita berdo’a kepada-Nya dengan nama-Nya, Sifat-sifat-Nya dan Zat-Nya.
2. Firman Allah Q.S. Ibrahim 38 – 40 :
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do`aku.”
Ayat itu menerangkan satu di antara beberapa contah washilah Nabi Ibrahim as ketika bermohon kepada Allah. Ia memulai do’anya dengan menyebut ketinggian ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu di langit dan di bumi. Allah terpuji pada zat, sifat dan perbuatan-Nya. Allah mendengar do’a hamba-Nya di mana pun mereka berada dan dengan bahasa apa pun mereka pergunakan dan dengan maksud apa pun yang mereka tuju. Dan dia perkenankan do’a itu jika Dia kehendaki.
Nabi Ibrahim as di depan do’anya berwasilah dengan Ilmu Allah, anugerah-Nya, puji-pujianNya dan pendengaran-Nya. Kemudian baru berdo’a meminta supaya ia dan anak cucunya menjadi penegak shalat, meminta ampuni dosanya dan dosa ibu bapanya dan dosa-dosa orang mu’min nanti pada hari kiamat. Ayat itu menjadi dalil kepada kita supaya berwashilah dalam berdo’a.
3. Hadits Abu Daud dan Turmudzi dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya :
“Bahwa Rasulullah SAW, mendengar seorang laki-laki berdoa : “Ya Allah, saya mohon kepada-Mu dengan mengakui bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, yang bergabung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada seorangpun yang setara dengan dia.”
Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya ananda telah bermohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan namanya yang Agung (Ismul A’dham).”
4. Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi dari Anas bin Malik.
“Bahwa Anas pada suatu hari duduk bersama Rasulullah SAW. Seorang laki-laki sedang shalat dan kemudian berdoa : “Ya Allah saya mohon kepada-Mu, dengan segala jenis puji bagi-Mu, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan yang menganugerahi, pencipta langit dan bumi, Wahai Tuhan yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, Wahai Yang Hidup dan Maha Berdiri Sendiri.”
Maka beliau pun bersabda : “Sesungguhnya dia telah berdoa dengan nama Allah yang mulia, yang apabila berdoa dengan nama yang mulia itu, niscaya diperkenankan, dan apabila meminta dengannya, niscaya akan diberi.”
Dua hadis itu menerangkan bahwa dua orang sahabat telah berdo’a berwashilah kepada nama-nama-Nya yang mulia, dan diakui oleh Nabi SAW, bila berdo’a dengan nama-nama itu niscaya diperkenankan.
Pengakuan Nabi SAW itu menunjukkan dibenarkannya berwashilah dalam berdo’a.
5. Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya, Abu Nu’aim dalam “Amalul Yaumi Wal Lailah”, Al-Baihaqi dalam kitabnya “Ad-Da’awat”, At-Thabrani dalam “Kitabud Du’a”, Ibnu As-Sunni dan Ibnu Majah, menyatakan bahwa Nabi SAW berwashilah dan mengajari kita supaya berwashilah. Beliau berwashilah kepada orang yang meminta-minta, ketika berjalan menuju masjid.
Lafadz do’a Nabi SAW itu menurut Musthafa Abu Saif Al-Hamami seorang tokoh Ulama Al-Azhar dalam kitabnya “Ghautsul ‘Ibad” adalah :
“Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang bermohon kepada-Mu, dan saya bermohon kepada-Mu dengan kebenaran perjalananku ini kepada-Mu, . . . “ dan seterusnya.
6. Hadis Turmudzi dan An-Nasai, Al-Baihaqi dan At-Thabrani, menurut “Ghautsul ‘Ibad” menyatakan :
“Seorang laki-laki yang buta telah mendatangi Nabi SAW, seraya berkata : “Do’akanlah kepada Allah, supaya disembuhkan-Nya butaku ini.”
Laki-laki itu berkata pula : “Do’akanlah!”
Maka beliau menyuruhnya supaya mengambil wudhu dengan sempurna (baik) dan berdo’a kepada Allah dengan mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan (perantara) Nabi Muhammad SAW yang beroleh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya saya menghadapkanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, supaya diperkenankan-Nya. Ya Allah maka syafaatkanlah ia pada hajatku ini.”
Selesai berdo’a sesuai dengan yang diperintahkan Nabi SAW, maka ia pun menjadi sehat dan dapat melihat kembali sebagaimana semula.
Menurut Imam Syaukani dalam kitabnya “Tuhfauz Dzakirin”, hadits yang sama maksudnya dengan itu dikeluarkan oleh Turmudzi (hasan-sahih-gharib), An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Menurut Al-Hakim hadits itu sahih atas dasar syarat Bukhari dan Muslim, dari Utsman bin Hanif.
7. Hadits sahih tentang Umar bin Khatab dan sahabat-sahabat berdo’a kepada Allah ketika shalat istisqa’ (minta hujan), dengan berwashilah kepada paman Nabi SAW, Abbas.
Menurut hadits Bukhari dalam Sahih-nya dari Anas :
“Sesungguhnya Umar bin Khatab, apabila mereka (para sahabat) ditimpa kemarau, ia meminta turunkan hujan dengan washilah Abbas bin Abdul Muthalib, seraya mengucapkan : “Ya Allah, kami telah berwashilah kepada-Mu dengan Nabi kami SAW, lantas Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sesungguhnya sekarang ini kami berwashilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.”
Kata Anas : “Maka hujan pun turun, menyirami mereka.”
Tiada seorang sahabat pun yang membantah perbuatan Umar itu.
Menurut Ibnu Hajar dalam “Fat-hul Bari”, sesudah Umar berwashilah kepada Abbas, maka Abbas pun berdo’a :
“Ya Allah sesungguhnya bala (ujian) tidak turun melainkan karena dosa, dan ia tidak tersingkap, melainkan karena tobat. Sesungguhnya orang banyak telah menghadapkan aku dengan-Mu, karena kedudukanku di samping Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan tertadah kepada-Mu, disebabkan dosa-dosa, kami saling nasehat menasehati supaya tobat kepada-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Maka hujan pun turun seperti gunung (lebat).”
Abbas berwashilah kepada Allah dengan mengakui kesalahan, kemudian tobat daripadanya. Ini termasuk amal saleh.
Abbas berdo’a, orang banyak mengaminkan, dan sebelum meletakkan tangan (selesai do’a), hujan pun turun laksana gunung lari dari langit.
8. Hadis Bukhari dan Muslim, muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Umar tentang tiga orang yang terkurung dalam sebuah goa, disebabkan pintunya tertutup oleh sebuah batu besar yang jatuh dari atas sebuah gunung. Ketiganya berdo’a kepada Allah dengan washilah amal saleh masing-masing. Akhirnya batu penghalang itu pun bergeser, dan mereka pun keluar dengan selamat.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan berwashilah yang sesuai dengan ajaran syari’at, tidak dilarang dan bahkan sebaliknya, dianjurkan.
9. Abu Yusuf Musthafa Al-Hamami, seorang tokoh Ulama Al-Azhar, Kairo, dalam kitabnya “Ghautsul ‘Ibad”, menerangkan bahwa tentang dibenarkannya berwashilah itu, tidak perlu diragukan, karena diamalkan orang dari Timur ke Barat. Sebab menurut beliau, imam madzhab yang empat membenarkannya, tanpa ikhtilaf. Dan kita tidak dapat keluar dari salah satu pendapat yang empat itu. Seandainya, terdapat kemudharatan, tentu Imam yang empat tidak ijmak dalam masalah ini.
Jika ada yang mengatakan bahwa berwashilah itu, membuat perantara di antaranya dengan Allah, dan hal itu tidak boleh, memudharatkan, maka kami mengatakan, siapa yang mengatakan bahwa washilah seperti itu, memudharatkan ? Bagaimana mungkin memudharatkan, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita supaya berwashilah, baik di dunia maupun di akhirat.
Di akhirat nanti, orang berebut-rebut mendatangi Nabi masing-masing, meminta pertolongan dan menjadikannya washilah diantaranya dengan Tuhan-nya.
Adapun di dunia ini, Allah menjadikan para Nabi dan Rasul menjadi perantara (washilah) antara-Nya dengan hamba-Nya yang fakir dan miskin, untuk menyampaikan sebagian rezki-Nya kepada mereka. Allah menjadikan para dokter, perantara diantara-Nya dengan penderita sakit, untuk disembuhkan. Allah menjadikan makanan, perantara di antara-Nya dengan hewan-hewan, untuk dapat hidup, untuk memperoleh kenyang dan menolak kelaparan. Allah jadikan air, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk memuaskan dahaga. Allah menjadikan pakaian, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk menutupi tubuh, dijadikan-Nya perkawinan untuk mendapat anak, dijadikan-Nya kapal-kapal untuk alat angkutan di lautan.
Sekiranya tidak dijadikannya air, tentu kita akan mati kehausan, kalau tidak diadakannya pakaian, tentu kita akan mati kepanasan dan kedinginan. Kalau tidak ada tidur tentu kita akan mati kelelahan, kalau tidak karena adanya anak-anak maka manusia tidak akan berkembang. Kalau sekiranya tidak diadakan-Nya kapal-kapal, niscaya kita akan mati tenggelam. Kalau tidak karena usaha dan ikhtiar, tentu kita tidak memperoleh rezki. Demikianlah seterusnya, semua yang ada ini dibina atas dasar perantara-perantara.
Bukan Allah tidak bisa menjadikan anak tanpa kawin, bukan Allah tidak bisa membikin orang sakit menjadi sehat tanpa obat, bukan Allah tidak bisa membuat orang kenyang tanpa makan, semuanya bisa, karena Allah itu Maha Kuasa atas segala-galanya. Tetapi Allah tidak melakukannya secara langsung. Dia buat washilah atau perantaranya.
Bahkan orang mati di akhirat tidak akan masuk surga atau neraka, melainkan dengan washilah amalnya.
Firman Allah Q.S. Al-A’raf 8 dan 9 :
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”
Jika kalangan yang melarang washilah, berkata “kenapa orang tidak meminta langsung saja kepada Allah, tanpa washilah”, maka itu masalah lain. Bukan itu yang menjadi pembicaraan.
Allah menjadikan beberapa sebab untuk menyampaikan hajat hamba-Nya, dan memerintahkan supaya penyebab itu dilaksanakan. Maka berdo’a kepada Allah untuk sesuatu hajat, adalah satu faktor penyebab. Dan berwashilah kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam memohon hajat itu, adalah menjadi faktor penyebab kedua.
Maka orang yang bermohon kepada Allah tentang sesuatu hajat, dengan washilah, berarti ia telah mengerjakan dua faktor penyebab, sedangkan orang yang bermohon kepada Allah secara langsung tidak berwashilah, berarti ia hanya mengerjakan satu faktor penyebab. Tentu saja orang yang mengajukan permohonan-Nya dengan dua faktor penyebab lebih utama dari orang yang bermohon dengan hanya melaksanakan satu faktor penyebab.
Oleh sebab itu, berwashilah lebih baik daripada tidak berwhasilah, sebagaimana dilakukan juga oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya.
C. WASHILAH YANG DILARANG
Adapun washilah yang dilarang, adalah berwashilah kepada sesuatu yang menurut keyakinannya, dapat memberikan manfaat dan mudharat kepadanya. Washilah seperti ini dapat menjerumuskan orang ke dalam syirik, sebagaimana yang dilakukan orang di zaman jahiliah.
Dalilnya, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. Az-Zumar: 3 :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
2. Firman Allah Q.S. Yunus: 18 :
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).”
Orang di zaman jahiliah meminta kepada patung-patung berhala, karena yakin apa yang mereka sembah itu dapat menolong, dapat memberikan manfaat dan mudharat.
Berwashilah seperti itu, jelas dilarang dan syirik. Penganut thariqat tidak berwashilah seperti itu.
Menghadirkan rabithah bagi murid atau salik, dimaksudkan supaya selalu ingat kepada Syeikh atau Mursyid, sehingga dengan demikian ia merasa takut berbuat kesalahan. Dan apabila dalam berdzikir, ia mengalami sesuatu perasaan, penglihatan dan pendengaran, dengan terbukanya hijab maka ia dapat meminta petunjuk kepada Syeikh tentang hakikat peristiwa itu.
Syeikh senantiasa membayanginya sehingga kehadiran Syeikh dalam pandangannya membuatnya kecut atau malu melakukan sesuatu yang bersifat pelanggaran dari apa yang diajarkan Syeikh. Sedangkan Syeikh mengajarinya tata cara (kaifiat) dan adab dzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi murid atau salik bukan menyembah Syeikh atau mempertuhan Syeikh. Syeikh atau Mursyid itu sebagai orang yang harus dita’ati dan yakin Syeikh tidak akan menjerumuskan ke jalan yang sesat.
Kehadiran Syeikh dalam pandangannya tidak ubahnya seperti kehadiran Nabi Ya’kub ayah Nabi Yusuf atau kehadiran suami Zulaikha yang bernama Qithfir dalam pandangan Nabi Yusuf ketika ia dirayu oleh Zulaikha untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, sebagaimana maksud firman Allah Q.S.Yusuf 24:
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.”
Menurut “Tafsir Ibnu Katsir” juz 2, maksud “Burhana rabbihi” dalam ayat tersebut, adalah rabithah yang dilakukan Nabi Yusuf dengan ayahnya (Ya’kub) atau pada waktu itu terbayang wajah Qithfir suami Zulaikha. Akibatnya Nabi Yusuf tidak jadi melakukan perbuatan tidak senonoh itu dengan meloncar keluar kamar. Maka selamatlah ia dari bencana itu.
Apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu yakni mem bayangkan rupa ayah atau rupa suami Zulaikha yang marah-marah, karena mengetahui apa yang akan dilakukannya hanyalah sebagai washilah untuk mempermudah meng hilangkan godaan nafsu syaithaniah yang sedang melandanya.
Walaupun peristiwa itu menyangkut syari’at Nabi Yusuf namun materinya masih muhkamah (berlaku) bagi umat Muhammad SAW, karena tidak ada keterangan yang membatalkan atau tidak berlakunya sampai habis masa Nabi Yusuf as saja.
Jadi rabithah kepada Syeikh bagi ahli thariqat tidaklah sama dengan washilah kepada berhala bagi orang musyrikin di zaman jahiliah.
TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (E. RINTANGAN - RINTANGAN PERJALANAN MENUJU ALLAH SWT)
Friday, November 12, 2010 8:33:43 AM
TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT
Hendaklah diketahui bahwa perjalanan seseorang hamba yang ingin menuju kehadlirat Allah SWT ia akan menghadapi beberapa rintangan-rintangan atau penghalang-penghalang.
Didalam kitab Ad-Durrunnafis (Permata Yang Indah) karya Syeikh M. Nafis Bin Idris Al-Banjarie yang diterjemahkan oleh K.H. Haderanie H.N, dijelaskan bahwa : “Hal-hal yang dapat merusakkan perjalanan menuju Allah SWT itu diantaranya :
a.Kasal (Malas), yaitu malas untuk mengerjakan ibadat kepada Allah SWT, padahal sebenarnya anda dapat dan sanggup untuk melakukan ibadat itu.
b.Futur (Bimbang/Lemah pendirian), yaitu tidak memi liki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi.
c.Malal (Pembosan), yaitu cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadat karena merasa terlalu sering dilakukan padahal tujuan belum juga tercapai.
Timbulnya hal-hal tersebut diatas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa keimanan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawa nafsunya sendiri.
Selanjutnya hal-hal yang mengakibatkan gagalnya untuk mencapai tujuan, antara lain adanya penyakit “Syirik Khofi” (syirik tersembunyi) atau dengan kata lain timbulnya suatu tanggapan dalam hatinya bahwa segala amal ibadat yang dilakukannya adalah sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu semua pada hakikatnya dari pada Allah SWT.
Hal-hal yang tergolong dalam syirik khofi antara lain adalah sebagai berikut :
1.Riya’, yaitu menampak-nampak kan ibadah atau amalnya kepada orang lain dengan maksud tertentu yang lain daripada Allah.
2.Sum’ah, yaitu sengaja mencerita-ceritakan tentang amal ibadatnya kepada orang lain bahwa dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan suatu maksud agar orang lain memberikan pujian dan sanjungan kepadanya.
3.‘Ujub (membanggakan diri), yaitu merasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak amal ibadatnya, tidak dia rasakan bahwa semua itu adalah semata-mata karena karunia dan rahmat Allah.
4.Hajbun (hijab/dinding), yang dimaksud adalah karena terlena dan kagum atas keindahan amalnya, sehingga tertahan pandangan hatinya (syuhudnya) kepada kekaguman itu semata-mata, atau dengan kata lain terpengaruh kepada keindahan amal ibadatnya sendiri, tidak dirasakannya bahwa semua itu adalah karunia dari Allah swt.
Oleh sebab itu agar dapat terlepas dari hal-hal tersebut diatas hal mana dapat membahayakan perjalanan seorang hamba menuju Allah swt, maka tidak ada jalan lain kecuali memantapkan pandangan batin (musyahadah) dengan penuh keyakinan bahwa “ segala apapun yang terjadi pada hakikatnya adalah daripada Allah swt semata ”.
Didalam kitab “Minhajul ‘Abidin” karya Imam Ghazali dijelaskan : ada tujuh rintangan/penghalang yang mesti dilalui seseorang hamba dalam memperoleh yang dicarinya.
Hal pertama yang menggerakkan hamba untuk menempuh jalan ibadah ialah sentuhan samawi dan taufiq, khususnya dari Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah SAW : “Apabila cahaya telah masuk kedalam qalbu seseorang, qalbu itu akan terbuka dan menjadi lapang” kemudian beliau ditanya : “Wahai Rasulullah, adakah tanda-tanda untuk mengetahui keterbukaan itu ?” Beliau menjawab : “Menjauhi dunia, negeri yang penuh dengan tipu daya ; kembali ke akhirat, negeri abadi; dan bersiap-siap menghadapi maut sebelum ia tiba “.
Dihembuskan kedalam qalbu seseorang hamba Allah bahwa ia mempunyai Rabb yang memberikan berbagai macam nikmat. Dia berkata : “Rabbi menuntutku untuk bersyukur dan mengabdi kepada-Nya. Jika aku lalai, maka Dia akan mencabut nikmat-Nya dariku. Dia telah mengutus seorang rasul kepadaku dengan membawa berbagai mu’jizat dan memberitahukan bahwa aku mempunyai Rabb Yang Maha Mengetahui lagi Berkuasa. IA akan memberi pahala karena mentaati-Nya dan akan menyiksa karena mendurhakai-Nya”. Rabb telah mengeluarkan perintah dan larangan. Dia (hamba) merasa khawatir terhadap dirinya disisi Rabb. Dia tidak menemukan jalan keluar dari kemelut ini kecuali mencari bukti-bukti yang menunjukkan adanya Maha Pencipta dengan mengetahui ciptaan-Nya. Setelah itu tercapailah keyakinan akan adanya Rabb yang memiliki sifat tersebut.
Inilah rintangan pertama, berupa Ilmu dan Ma’rifat (pengetahuan) yang dijumpainya dipermulaan jalan menuju terbukanya mata hati dengan cara belajar dan bertanya kepada Ulama yang mengerti tentang kehidupan akhirat.
Setelah keyakinan tentang adanya Rabb tercapai, ma’rifat mendorongnya untuk memulai pengabdian. Akan tetapi dia tidak mengetahui bagaimana seharusnya dia beribadah kepada Rabb. Dia mempelajari kewajiban-kewajiban syar’i, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin. Ketika ilmu dan ma’rifat telah melengkapi dirinya, maka terdoronglah ia untuk melaksanakan ibadah. Dia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa sebagaimana halnya kebanyakan orang. Dia berkata : “Bagaimana aku dapat melakukan keta’atan, sedangkan aku selalu bergelimang dalam berbagai maksiat. Aku wajib bertaubat dahulu kepada-Nya agar Dia melepaskan diriku dari cengkraman dosa, dan membersihkan diriku dari segala kekotorannya sehingga aku pantas untuk mengabdi kepada-Nya”. Disini ia berhadapan dengan rintangan kedua yaitu tobat. Setelah menjalani tobat dengan memenuhi segala hak dan persyaratannya, dia kembali memperhatikan jalan. Tiba-tiba dilihatnya beberapa hal yang menghambat jalan untuk beribadah kepada Allah. Ada empat hambatan yang dihadapinya, yaitu : dunia, makhluk, setan dan nafsu. Kini ia menghadapi rintangan ketiga berupa hambatan-hambatan. Dia harus mendobraknya dengan empat perkara pula, yaitu : Melepaskan diri dari dunia, tidak menggantungkan diri kepada makhluk, dan memerangi setan dan hawa nafsunya. Dari empat hambatan tersebut , maka nafsu merupakan penghambat yang paling berat, karena manusia tidak mungkin melepaskan diri darinya atau mengalahkannya seperti mengalahkan setan, lantaran nafsu merupakan kendaraan dan alat. Jika dia menurutinya, maka ia tidak akan mempunyai keinginan untuk melakukan ibadah, karena nafsu merupakan tabiat yang sangat bertentangan dengan kebaikan. Manusia perlu mengendalikan nafsu dengan taqwa, agar selamat dan dapat menggunakannya dalam berbagai kebaikan serta mencegahnya dari segala kejahatan.
Setelah berhasil menerobos rintangan ketiga, kini ia berhadapan dengan rintangan keempat yang membuatnya tidak bergairah (malas) dalam melakukan ibadah kepada Allah swt. Rintangan yang dihadapinya inipun ada empat :
Pertama, rezeki yang dituntut oleh nafsu dan memang merupakan suatu keperluan ;
Kedua, berbagai hal yang ditakuti, diharapkan, diinginkan atau dibencinya, sedangkan dia tidak mengetahui kebaikan dan kerusakannya disitu ;
Ketiga, berbagai bencana dan musibah yang mengepungnya dari segala sudut, apalagi ia telah bertekad untuk tidak bergantung kepada makhluk, memerangi setan dan mengalahkan nafsu.
Keempat, bermacam-macam qadho’ (ketentuan) Allah.
Untuk menerobos keempat penghambat tersebut diapun memerlukan empat perkara, yaitu :
Pertama, bertawakkal kepada Allah dalam masalah rezeki.
Kedua, menyerahkan masalah bahaya kepada-Nya.
Ketiga, bersabar dalam menghadapi berbagai musibah.
Keempat, ridho menerima qadho (ketentuan) dari Allah.
Setelah berhasil menerobos rintangan keempat, tiba-tiba nafsunya menjadi lesu dan malas, tidak bersemangat dan tidak bergairah untuk melakukan kebaikan sebagaimana mestinya. Nafsunya cendrung lalai dan menganggur, bahkan cendrung kepada hal yang sia-sia dan berlebihan. Disini ia membutuhkan penuntun agar ta’at dan dapat merobohkan benteng perbuatan maksiat, yaitu berupa harapan (raja’) dan takut (khauf) ; harapan akan kemuliaan yang telah dijanjikan, dan takut akan berbagai siksaan dan hinaan yang telah diancamkan. Yang dihadapi kali ini rintangan kelima yaitu rintangan pendorong. Untuk menerobosnya dia memerlukan dua perkara tersebut yaitu : harapan (raja’) dan takut (khauf) seperti tersebut diatas.
Setelah berhasil menerobos rintangan kelima, dia tidak melihat satu rintanganpun. Yang dia dapatkan adalah pendorong dan penggerak, sehingga dia melakukan ibadah dengan penuh gairah dan kerinduan. Kemudian dia merenungi ; tiba-tiba tampak olehnya dua bahaya besar menghadangnya, yaitu riya’ dan ‘ujub (takabbur). Kadang-kadang ketaatannya ingin dilihat orang lain, dan kadang-kadang dia ingin membanggakan serta memuliakan dirinya.
Disini dia berhadapan dengan rintangan keenam, berupa penyakit hati. Untuk menerobosnya, dia harus ikhlas dan ingat bahwa semua ini adalah karunia Allah. Setelah berhasil melaluinya dengan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa, maka tercapailah kesempurnaan ibadah sebagai mana yang diharapkan.
Akan tetapi ketika dia merenung kembali, tiba-tiba didapati dirinya tenggelam didalam lautan nikmat Allah berupa taufiq dan perlindungan. Dia takut kalau-kalau lalai bersyukur, sehingga terjerumus kedalam kekufuran dan turun dari martabat yang tinggi. Disinilah dia berhadapan dengan rintangan terakhir (ketujuh) yaitu pujian dan syukur. Dia baru akan berhasil melewati rintangan itu jika dia memperbanyak memuji Allah dan bersyukur atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya.
Setelah berhasil melewatinya, sampailah dia sekarang kepada maksud dan tujuan. Kini dia hidup dalam kondisi yang paling baik dari sisa-sisa umurnya, dirinya didunia dan qalbunya diakhirat. Hari demi hari dia menantikan kedatangan utusan Allah yaitu malaikat yang akan mencabut nyawanya. Maka muncullah kerinduannya kepada malaikat yang ada dilangit. Tiba-tiba dia mendapatkan utusan Rabb semesta alam itu memberikan khabar gembira kepadanya berupa keridhoan Rabb, bukan kemurkaan-Nya. Utusan itu (malaikat pencabut nyawa) memindahkannya dalam keadaan sebagai diri yang baik dan manusia yang sempurna dari dunia yang fana ini ke hadlirat Ilahi dan taman surga, lalu diperlihatkan kepada dirinya yang fakir itu keindahan surga dan kerajaan Yang Agung.
2 comments
TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (D. MA’ RIFAT)
Friday, November 12, 2010 8:32:33 AM
TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Ma’rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “ Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “.
Ma’rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.
Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).”
Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada Allah ialah hati.”
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Madarijus Salikin “ : “Ma’rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari kedudukan orang-orang mu’min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma’rifat terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma’rifatnya. Jadi, orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya. Berusaha untuk menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat, kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah dan logika-logika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar sebagai orang yang ma’rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.
Dibawah ini kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma’rifat yang dihimpun oleh Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu, sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa ilmu.
2. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain
3. Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada - Nya.
4. Tanda-tanda seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama.
5. Barangsiapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.
6. Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan sebagainya.
7. Ma’rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah.
8. Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama.
9. Alangkah janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang silih berganti kepadanya.
10. Kearifan laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh kepada teman maupun lawan.
11. Kearifan, adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.
12. Ma’rifat kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur.
13. Ma’rifat, bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah.
14. Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma’rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu.
15. Belum merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji Tuhannya.
Selanjutnya mengenai perjalanan menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yaitu Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat M. S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut :
· Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.
· Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT.
· Hakekat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya.
· Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi).
Dari bahasan tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt, harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui : Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat, atau dengan kata lain harus menempuh proses empat tahapan diantaranya :
- Pertama : Marhalah Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw atau disebut usaha menghias diri dengan Syari’at.
- Kedua : Marhalah Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah.
Pada tahap ini, setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran.
- Ketiga : Marhalah Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani, guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa sedikit demi sedikit merasakan hal-hal yang halus serta rahasia, merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah ketiga. Nur ini dinamakan Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat.
-Keempat : Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga disebut dengan Tahap Ma’rifat. Dalam situasi seperti inilah dia menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan Nur Kehadiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan meninggalkan komentar anda di kolom yang telah kami sediakan.......